Gaya Hidup Konsumtif Di Kalangan Masyarakat : Sebuah Fenomena Pergeseran Makna Kegiatan Konsumsi

Wulan Handayani

Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang 



Abstract


Consumptive lifestyle in today's society is not a new thing. Seeing the society that is increasingly trying to show itself using whatever is visible. Forming a self-image can be done in various ways, including by accentuating a lifestyle that seems luxurious. The more that do, the more that are affected and eventually a phenomenon will be formed in society. This phenomenon can also be toxic to society, we often encounter individuals who force to buy expensive things beyond their financial capabilities. The hyperreality that occurs in society is now something that we will often encounter. Society will force itself to be something that in reality is not its identity. This has been a concern of Jean Baudrillard for a long time in consumptive theory.

Key words : life style, consumptive, hyperreality, self image, consumptive theory

Abstrak


Gaya hidup konsumtif di kehidupan masyarakat sekarang bukan sebuah hal yang baru. Melihat masyarakat yang semakin hari semakin banyak berusaha untuk menunjukkan diri menggunakan apa saja yang kasat mata. Membentuk citra diri bisa dilakukan dengan berbagai cara termasuk dengan menonjolkan gaya hidup yang terkesan mewah. Semakin banyak yang melakukan semakin banyak yang terpengaruh dan akhirnya akan terbentuk sebuah fenomena di masyarakat. Fenomena ini juga bisa menjadi racun untuk masyarakat, sering kita jumpai individu yang memaksakan untuk membeli suatu barang mahal diluar kemampuan finansialnya. Hiperrealitas yang terjadi di masyarakat kini menjadi sesuatu yang akan sering kita jumpai. Masyarakat akan memaksakan diri menjadi sesuatu yang pada realitanya bukan jati dirinya. Hal ini telah menjadi perhatian Jean Baudrillard sudah lama dalam teori konsumtif.

Kata kunci : gaya hidup, konsumtif, hiperrealitas, citra diri, teori konsumtif


Pendahuluan

Konsumsi merupakan aktivitas manusia yang paling mendasar, hampir pasti bahwa manusia memang harus mengonsumsi karena konsumsi menjamin kelangsungan hidup manusia. Namun seiring berjalannya waktu, manusia telah berevolusi, orientasi manusia terhadap bukan lagi sebagai pemenuhan kebutuhan untuk bertahan hidup tetapi untuk memenuhi hasrat dan sebagai gaya hidup. Esensi konsumerisme yakni sebuah prinsip bahwa konsumsi sebagai tujuan itu sendiri dan memiliki pembenarannya sendiri Internalisasi struktur konsumerisme dapat menjelma menjadi habitus atau kesadaran praktis dalam diri seseorang yang diwujudkan melalui kegiatan belanja dan gaya hidup konsumtif. Manusia di zaman sekarang melakukan kegiatan konsumsi bukan hanya sekadar memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan saja. Manusia zaman sekarang juga perlu memenuhi kepuasan dalam berkehidupan sosial. Nilai-nilai pemaknaan dan harga diri menjadikan sesuatu yang dikonsumsi menjadi semakin penting dalam pengalaman personal dan kehidupan sosial masyarakat.

Sifat konsumtif ini sebenarnya juga didasari oleh semakin majunya teknologi yang memudahkan konsumen mencari produk-produk yang diinginkan. Hal ini juga dimanfaatkan para kapitalis dalam memasarkan komoditi-komoditi yang diciptakan untuk menghasilkan keuntungan. Makna perilaku konsumtif bukan hanya membeli barang karena keinginan tanpa melihat aspek kebutuhan saja, tetapi juga diartikan sebagai tindakan memakai suatu produk secara tidak tuntas. Maksudnya, seseorang membeli produk bukan karena produk tersebut diperlukan, melainkan karena adanya iming-iming hadiah yang ditawarkan atau bahkan produk tersebut sedang trend. Tumbuhnya produktivitas juga bermuara pada kemudahan masyarakat mengakses beraneka ragam komoditi. Banyak jenis produk yang tersedia di pasar seperi makanan, minuman, tekstil, elektronik sampa otomotif, bahkan transaksi kini dapat dilakukan melalui gawai.

 Gaya hidup konsumtif akan menjadi femomena sosial selama perilaku konsumtif dianggap hal yang biasa. Pada era kapitalisme lanjut, dimana objek konsumsi atau komoditi berhasil mendikte seluruh aspek kehidupan manusia. Alhasil seseorang memaknai eksistensi dirinya melalui komoditi-komoditi yang dibeli yang sudah disisipkan oleh tanda-tanda tertentu. Jean Baudrillard dalam karyanya yang berjudul The System of Object (1968) berpendapat bahwa mereka yang berada dalam masyarakat konsumen perlu mengonsumsi untuk merasa hidup. Pemaknaan ini melahirkan slogan: “aku mengonsumsi maka aku ada”.

Kata hedonisme tentunya bukan sebuah kata yang asing di telinga masyarakat sekarang. Mengingat hedonisme bukan lagi sebagai bentuk pandangan, melainkan gaya hidup konsumtif yang banyak dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat khususnya kawula muda. Hedonisme identik dengan tindakan menghamburkan uang bukan untuk memenuhi kebutuhan tetapi hanya untuk memuaskan kepuasan semata. Hedonisme juga sebagai bentuk menampilkan citra diri sebagai sosok yang hidup bergelimang harta. Banyak masyarakat yang berasal dari kalangan menengah bawah dan tengah memaksakan diri untuk terlihat mewah, segala cara dilakukan demi mendapatkan citra diri sebagai orang yang merdeka dalam urusan finansial. Jean Baudrillard menyebut hal ini dengan istilah simulacra. Simulacra mampu mengubal hal-hal yang awalnya bersifat abstrak menjadi konkret.

Simulacra dapat mengontrol konsumen, simulacra menghipnotis konsumen untuk menampilkan diri sebagai sosok yang elegan dengan cara membeli komoditi-komoditi mewah serta kegiatan konsumtif lainnya. Kaum muda dan remaja merupakan golongan masyarakat yang paling mudah terpengaruh distorsi atau kesalahpamahan dalam menerima informasi yang disampaikan oleh berbagai media informasi, misalnya media sosial. Dengan demikian, tekanan konsumerisme tersebut dapat mengakibatkan pemaksaan perilaku di kalangan kaum muda. Selain memberi barang mewah, gaya hidup konsumtif juga diwujudkan dalam bentuk menghabiskan uang untuk makan di restoran yang mempunyai kelas mewah. Survey yang dilakukan Jakarta Dining Index (2013) menyebutkan kunjungan orang Jakarta ke restoran sepanjang 2013 mencapai 380 juta kali dan menghabiskan total Rp. 17 triliun pertahunnya. 

            Dari survey di atas menunjukkan terdapat pergeseran makna, kegiatan makan bukan lagi sebagai bentuk pemenuhan gizi agar tetap sehat, tetapi bentuk kebutuhan sosial untuk membuktikan kesejahteraan hidup. Makan di restoran dilakukan bukan dalam rangka untuk mengisi perut yang kosong namun lebih kepada menyiarkan makanan mewah tersebut di sosial media. Kondisi ini dialami oleh masyarakat kota-kota besar. Padahal realitanya penghasilan per bulannya belum bisa dikatakan merdeka, bahkan bisa jadi masih mempunyai cicilan, tunggakan dan biaya sewa tempat tinggal, belum termasuk kebutuhan primer lainnya. Jean Baudrillard menyebut fenomena ini dengan istilah hiperrealitas. Salah satu sub pemikiran hiperrealitas yakni simulasi yang ditandai dengan citra, simbol, gambar buatan, atau segala hal yang menyembunyikan kenyataan.


Perilaku Konsumtif Masyarakat Dalam Bergaya

Gaya hidup mencerminkan keseluruhan pribadi yang berinteraksi dengan lingkungan. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa gaya hidup adalah pola hidup seseorang yang dinyatakan dalam kegiatan, minat dan pendapatnya dalam membelanjakan uangnya dan cara mengalokasikan waktu. Seperti pola konsumtif yang terjadi pada masyarakat urban di kalangan kaum muda. Perubahan pada gaya hidup mahasiswa selain konsumtif terhadap produk branded, juga seringnya keluar dimalam hari menikmati dunia malam seperti clubbing, mengahabiskan waktu di pusat perbelanjaan, atau kumpul bersama teman-teman di Coffe Shop. Gaya hidup konsumtif juga dapat disebabkan oleh lingkungan yang sudah membaur oleh masing-masing  individu. Zelinsky dan Lewis mengatakan mobilitas penduduk memegang peranan penting dalam perubahan sosial budaya dengan cara membawa masyarakat dari kehidupan tradisional ke suasana dan cara hidup modern yang dibawa dari luar. 

Perubahan gaya hidup yang terjadi pada masyarakat perkotaan terdapat pada gaya berbusana, lebih modis mengikuti perubahan mode dan cara bergaul dengan orang lain. Perubahan yang terjadi adalah kaum muda tersebut lebih mengenal banyak produk branded. Selain konsumtif, perubahan pada pemikirannya juga sangat berubah, mulai dari awal masuk kuliah sampai saat ini. Perubahan yang terjadi pada informan terletak pada perubahan gaya hidup konsumtif terhadap barang mewah. Produk-produk branded yang biasa dibeli mulai dari pakaian hingga jam tangan adalah Nevada, Kenzo, Gucci, Dior, Benhill, Levis, Nick Denim, Point One, Ossella, Eiger, Logo, Casio, Daniel Wellington dan Alexander Christy.

        Peneliti melakukan wawancara dengan seorang mahasiswa berusia 20 tahun mengenai alasan mengapa dirinya membeli barang-barang branded mulai dari baju, celana sampai sepatu. Dari hasil wawancara narasumber tersebut, peneliti mendapatkan alasan kaum muda lebih memilih barang-barang branded. Alasan yang dipaparkan narasumber yakni karena barang branded sudah memiliki nama di kehidupan sosial, sehingga jika mengenakan akan merasa menawan. Berikut pemaparan narasumber,

“Saya merasa lebih senang jika memakai barang-barang branded karena barang branded sudah punya nama di kalangan masyarakat. Saya juga merasa lebih percaya diri jika memakai barang-barang branded. Kalau dibilang konsumtif ya saya mengakui tapi karena saya merasa baik-baik saja membelinya jadi ya kenapa tidak boleh” (Tasya, mahasiswa)

Tidak hanya dalam bergaya busana tetapi perilaku konsumtif juga ditunjukkan dalam bergaul bersama teman-teman. Kalangan muda zaman sekarang lebih menghabiskan waktu luang di tempat tongkrongan daripada perpustakaan. Tempat yang dipilih juga beraneka ragam seperti restoran mewah, restoran cepat saji atau coffee shop. Pemilihan tempat nongkrong menjadi hal yang paling penting oleh kaum muda. Karena pemilihan restoran yang akan menentukan apakah hal tersebut masuk kedalam kategori kumpul mewah atau tidak. Kumpul bersama teman-teman biasanya dilakukan di tempat-tempat kelas menengah dan atas. Berbagai aspek menjadi pertimbangan masyarakat dalam memilih tempat, antara lain dekorasi atau design interior ruangan, penyajian makanan dan lokasi tempat. Namun yang menarik adalah rasa dari makanan yang seharusnya menjadi pertimbangan seseorang untuk memilih tempat berkumpul, kini tidak diprioritaskan. Hal ini dibuktikan oleh wawancara bersama seorang mahasiswa berusia 21 tahun,

“saya kalau nongkrong yang pertama kali saya lihat tentu  tempatnya, kalau tempatnya nyaman saya juga nyaman untuk stay di tempat berjam-jam. Design interior itu penting menurut saya supaya menarik perhatian pengunjung. Semakin bagus tempatnya semakin ramai dikunjungi. Kalau untuk rasa makanan itu selera masing-masing tetapi saya mengutamakan tempat agar kumpul dengan teman-teman itu nyaman “ (Rahayu, mahasiswa). 


Dampak Perilaku Konsumtif Di Kehidupan

Dampak terbesar dari gaya hidup konsumtif yakni ekonomi membaik tapi ketimpangan menjadi berlapis Pascakrisis ekonomi 1998, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan, dengan konsumsi rumah tangga sebagai penggerak utama pertumbuhan itu. Meski demikian, laporan Bank Dunia di tahun 2015 menyebutkan bahwa manfaat pertumbuhan ekonomi Indonesia ini hanya bisa dinikmati oleh 18-20% masyarakatnya. Mereka diidentifikasi sebagai masyarakat konsumtif yang umumnya tinggal di perkotaan. Kalangan masyarakat ini memiliki tingkat dan kualitas pendidikan yang tinggi, sehingga mereka memiliki kesempatan lebih besar dalam mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang tinggi pula. Dengan penghasilan tinggi, kalangan ini menjadi segmen konsumen yang paling berdaya di pasar. Mereka cenderung mengkonsumsi tak hanya untuk memenuhi kebutuhan harian, namun juga untuk merayakan gaya hidup dan status sosial. Mereka membeli barang-barang mewah, berwisata ke luar negeri, maupun mengenyam pendidikan di universitas-universitas ternama.

Dengan skenario pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 5-6% per tahun, jumlah masyarakat konsumtif di Indonesia ini akan makin meningkat, dari 85 juta orang di tahun 2020 menjadi 135 juta orang di tahun 2030. Artinya, aktivitas konsumsi untuk kepentingan gaya hidup pun makin menjadi hal yang umum dan normal dilakukan. Namun, tidak semua orang bisa merayakan gaya hidup konsumtif seperti itu. Masyarakat yang sulit mengakses sumber daya dan peluang kerja yang baik, misalnya, akan makin tersisih secara sosial.

Rasa gengsi yang tinggi biasanya akan terbentuk seiring dengan kebiasaan gaya hidup konsumtif. Sifat yang satu ini memang kerap kali menjadi suatu pendorong bagi seseorang untuk bersikap konsumtif dalam memenuhi kebutuhan hidupnya agar mereka terlihat mampu dimata orang lain, terutama dari segi finansial. Alhasil mau tidak mau harus selalu mengikuti trend yang ada baik itu trend gadget, trend fashion dan trend lainnya. Biasanya keinginannya muncul setelah melihat barang terbaru yang baru keluar agar tidak ketinggalan trend. Beberapa dari mereka yang memiliki gaya hidup konsumtif juga biasanya memilih dengan siapa mereka bersosialisasi. Anggapannya jika mereka bersosialisasi dengan orang yang tidak memiliki gaya hidup konsumtif maka komunikasi yang dilakukan tidak akan sampai.

           Jean Baudrillard meyakini bahwa konsumsi telah menjadi faktor mendasar dalam ekologi spesies manusia. Atas dasar itu ia juga mengklaim bahwa konsumsi sebagai motor utama masyarakat kontemporer. Baudrillard mencoba meyakinkan dunia akademis bahwa masa yang sedang ditapaki saat ini adalah era postmodern. Upaya yang dilakukannya dengan membuat klasifikasi ciri khas cara berpikir masyarakat yang dominan pada masing-masing era. Pada setiap zaman terdapat logika dominan yang tertanam di benak masyarakat. Baudrillard menggambarkan perbedaan logika antara era postmodern (yang menggunakan logika simulasi) dengan era sebelumnya, yakni era modern (logika produksi) dan era pra-modern (logika pertukaran simbolik). Baudrillard menegaskan bahwa dalam era postmodern, dominasi permainan citra dan tanda merasuk ke dalam hampir keseluruhan aktivitas komunikasi diantara manusia. Relasi tanda, citra, dan kode menjadi penentu dalam kehidupan masyarakat konsumsi.

Kesimpulan

Konsumsi merupakan aktivitas manusia yang paling mendasar, hampir pasti bahwa manusia memang harus mengonsumsi karena konsumsi menjamin kelangsungan hidup manusia. Perubahan sosial ekonomi dan globalisasi telah berdampak pada pola budaya konsumsi. Melalui perubahan pemaknaan sesuatu yang dikonsumsi sebagai objek menjadi suatu “tanda” dari identitas dan status sosial, masyarakat mengubah orientasi konsumsinya dari memenuhi kebutuhan biologis menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan sosiologis. Aktivitas konsumsi bertransformasi menjadi konsumerisme, bahkan ajaran agama sekalipun melalui ideologi konsumerisme tidak luput menjadi instrumen permainan tanda status sosial.

Teori Baudrillard menggunakan semiologi untuk menyatakan bahwa konsumsi melibatkan manipulasi tanda secara aktif. Overproduksi tanda-tanda dan reproduksi gambar dan simulasi menyebabkan hilangnya makna yang stabil. Kini produk-produk industri dijadikan sebagai simbol untuk memperoleh makna dan posisi dikendalikan oleh kapitalisme global melalui simulasi yang membawa kita hidup dalam “dunia fantasi”. konsumsi telah menjadi kelaziman, rutinitas kegiatan, dan identitas masyarakat postmodern. Tiada hari tanpa iklan dan apa yang dikonsumsi menandakan keberadaan seseorang.



Daftar Pustaka

Setia,Indra.dkk. 2019. Konsumerisme dalam Perspektif Jean Baudrillard. Jurnal Sosiologi Vol.13, no. 2 hlm 149-161.

Wisnu Hidayat, Tri Bagoes. dkk. 2018. Peran Media Sosial Terhadap Perilaku Konsumtif Kaum Remaja Di Desa Tegal Kertha, Kecamatan Denpasar Barat, Kota Denpasar. Jurnal Ilmiah Sosiologi Vol. 1, No. 1 hlm 1.

Fitria, Herlinda. 2015. Hiperrealitas Dalam Social Media (Studi Kasus: Makan Cantik Di Senopati Pada Masyarakat Perkotaan ). INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Vol. 45, No. 2 hlm 88.

Novitasani, Latifah dan Pambudi Handoyo. 2014. Perubahan Gaya Hidup Konsumtif pada Mahasiswa Urban di UNESA. Jurnal Paradigma Vol. 2, No. 3 hlm 3. 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inisiatif membangun kekuatan intelektual, Departemen Pendidikan dan Penalaran (PILAR) HMJ Sosiologi FISIP UIN Walisongo Semarang mengadakan kelas penelitian di Desa Merbuh, Kecamatan SIngorojo, Kabupaten Kendal

HMJ Sosiologi mengadakan acara Pekan Ceria yang dilaksanakan di Kelurahan Bandarharjo, Kota Semarang

HMJ Sosiologi menggelar acara eLSiS dengan tema "Analisis Kebijakan Pemerintah Terhadap Pengendalian Harga Kebutuhan Pokonya"