HMJ Sosiologi UIN Walisongo menggelar acara Diskusi eLSiS berkolaborasi dengan Sekolah Online Series 4 yang bertemakan "Belajar, Berkontribusi, Menginspirasi Dengan SDGs"
Himpunan Mahasiswa Jurusan Sosiologi UIN Walisongo Semarang telah menggelar acara Diskusi eLSiS berkolaborasi dengan Sekolah Online Series 4 pada bulan Agustus ini mengambil tema "Belajar, Berkontribusi, Menginspirasi Dengan SDGs" yang telah dilaksanakan pada platform Zoom Meeting pada Sabtu (28/08/21).
Diskusi eLSiS X Sekolah Online merupakan kegiatan talkshow dengan narasumber yang membahas seputar SDGs sebagai informasi kasus sosial sekaligus wadah pengembangan diri dan penalaran kritis. Acara kali ini menghadirkan pemateri-pemateri yang hebat Bapak Endang Supriadi, M. A. yaitu seorang Dosen Sosiologi FISIP UIN Walisongo Semarang dan Ka Eka Purwati yaitu seorang The most outstanding participant MOOC SDG's Youth Force Indonesia 2021 dan dimoderatori oleh Galuh Tiasari (Departemen SOSMA).
Antusias dari para peserta Sekolah Online Series 4 x Diskusi eLSiS ini memberikan pertanyaan mengenai seputar SDGs. Salah satu pertanyaan yang menarik disampaikan oleh Kiki Yuli Rosita. "Bagaimana cara yang relevan untuk menghilangkan sebuah disparitas gender dan meastikan akses yang setara terhadap semua tingkatan dalam pendidikan untuk menciptakan pendidikan yang inklusif dan berkualitas yang mendukung kesempatan belajar untuk semua?"
Prespektif pemateri I (Bapak Endang Supriadi, M. A.)
"Jadi kita kembalikan lagi bahwa upaya kita untuk mengimplementasikan di Indonesia ini bukanlah sebuah upaya yang mudah, kita perlu yang namanya sinergi, kita perlu namanya kerjasama dan sebagai poin pentingnya adalah satu hal lagi pemuda adalah pelaku perubahan, pemuda adalah pelopor bukan pengekor. Bagaimana cara yang relevan untuk menghilangkan sebuah disparitas gender dan memaksa terhadap semua tingkatan dalam pendidikan untuk menciptakan pendidikan yang inklusif dan kualitas. Kita tidak hanya oleh pemerintah tapi kita bersama, bahkan dalam diri kita sendiri itu kadang kita mas karena budaya patriarki yang melekat dalam diri kita, itu kan yang kemudian menjadi apa yang belum sampai saat ini belum tuntas mengenai persoalan gender. Komposisikan perempuan yang kemudian itu di ruang publik dalam persoalan di pendidikan. PR kita bersama itu kan karena persoalan gender itu selalu menjadi belum ya di berbagai elemen masyarakat, baik itu di pendidikan ataupun di kehidupan sosial keagamaan bahkan yang lainnya itu menjadi persoalan. Bagaimana caranya kita harus memahami terlebih dahulu yang memahami persoalan kesetaraan gender, kita selalu di budaya patriarki, tapi kita harus mulai membuka wawasan, membuka pola pikir kita. Ya saya pikir dia melihat semua persoalan yang ada di masyarakat baik itu persoalan gender, kesetaraan gender atau yang lainnya itu menjadi bukti bahwa kita bisa memutus ketikan memutus pandangan bahwa budaya kita pada persoalan patriarki itu bisa jadi mulai. Jadi kita bisa, kita menerima atau memahami kondisi bahwa peran perempuan itu sangat dibutuhkan tapi kan kita tidak kemudian bisa meminta kepada seluruh rakyat Indonesia. Kita harus yang namanya budaya karakter masyarakat kita tuh berharga 11 pandangan itu kan butuh waktu.
"Kemudian kajian-kajian terkait dengan gender, kesetaraan gender itu selalu terus dilakukan oleh pihak pemerintah, oleh swasta yang lainnya bahkan perguruan tinggi sehingga ini menjadi tujuan pembangunan berkelanjutan. Salah satunya ada persoalan gender ini tetapi kemudian yang harus menjadi tantangan bagi kita tadi persoalan budaya atau mindset kita terkait budaya patriarki, kita sudah bisa dibuka itu tidak lagi ada patriarki, dalam pikiran kita bisa menerima segala, kita mungkin belum terbiasa melihat itu. Selalu mengatakan kepada mahasiswa bahwa peran perempuan itu sangat penting, jangan selalu laki-laki. Kenapa perempuan tidak selalu tampil dalam ruang publik? Itu karena sudah di justifikasi oleh masyarakat kita sendiri bahwa perempuan itu dia tidak ada kemampuan untuk memimpin suatu organisasi lah, sebagai pengalaman saya pribadi gitu kan ada mahasiswa atau calon-calon para pemimpin datang ke saya izin lah kalau saya enggak mau apamau maju Pak, dalam satu organisasi dukung penuh itu. Masyarakat atau mahasiswa saja untuk masuk bikin patrial kita cukup budaya patriarki yang masih melekat pada diri mahasiswa. Saya ingin mengajak kepada teman-teman semuanya pada kesempatan yang baik ini, Ayo kita mulai pola pikir kita mindset kita terhadap budaya yang kemudian harus kita pelan-pelan buka itu menerima kemampuan setiap manusia tidak hanya laki-laki, dari perempuan juga memiliki kemampuan sehingga itu sudah terbentuk ditemukan pada diri manusia pada tujuan pembangunan berkelanjutan mengenai gender ini kita bisa terealisasikan dengan baik gitu. Ya tapi kan kita juga tidak boleh memaksakannya".
Prespektif Pemateri II (Ka Eka Purwanti)
"Disparitas gender dan pendidikan inklusif ini juga memiliki relevansi yang kuat di antara keduanya yang mana masih banyak stickman-stickman negatif dari masyarakat sekitar kita bahwa perempuan tidak perlu pendidikan yang tinggi, perempuan hanya bekerja di tiga hal kasur, sumur, dan dapur. Namun hal itu perlu kita tepis teman-teman, artinya apa kita sebagai perempuan perlu yang namanya pendidikan berkualitas yang namanya pendidikan tinggi karena apa hal itu sebagai bekal kita untuk membekali diri kita sendiri sebagai calon ibu rumah tangga yang maka dari itu stickman stickman negatif yang ada di masyarakat sekitar tentang perempuan bahwa tidak perlu yang namanya sekolah tinggi, tidak perlu yang namanya pendidikan tinggi. Kita perlu tapi sama teman itu juga akan menjadikan diri kita sendiri untuk menciptakan pendidikan ataupun generasi yang berkualitas dan itu dimulai dari diri kita sendiri. Bagaimana caranya kita memaksimalkan kesempatan pendidikan yang bagaimana cara kita memaksimalkan dan mengembangkan potensi diri kita yang ada sebagai seorang perempuan seperti yang kita ketahui bahwa pendidikan inklusif dan berbicara tentang gender hari relevansi yang kuat. Bagaimana caranya menciptakan pendidikan inklusif dan sekarang untuk semua orang ada beberapa hal dan problematika yang masih hangat di sekitar kita mengenai pendidikan inklusif yaitu yang pertama kurangnya sarana dan prasarana pendidikan yang menunjang, apa masih banyak sekolah-sekolah yang masih memerlukan akses pendidikan yang layak, masih banyak sekolah-sekolah yang memiliki infrastruktur bahan yang kurang layak dijadikan sebagai sekolah kamu juga masih banyak problematika-problematika lainnya seperti kurangnya modifikasi kurikulum yang kurang relevan dengan keadaan masyarakat sekarang kemudian latar belakang ragam dari peserta didik yang kurang menunjang".
"Salah satu pendidikan di Indonesia dan beberapa hal itulah yang menjadi PR kita dan pemerintah semuanya bahwa pemerintah sudah berulang kali mengganti ataupun merubah kurikulum namun itu saja masih menjadi persoalan untuk kita semuanya. Masih banyak pelajar ataupun mahasiswa lainnya yang kurang sepakat ataupun kurang relevan dengan adanya perubahan yang berganti dari pemerintah dan hal itulah menjadi PR untuk kita semuanya. Bagaimana kita menciptakan pendidikan yang berkualitas? Bagaimana caranya kita memaksimalkan diri kita kita memaksimalkan potensi diri kita untuk bisa mengembangkan diri dan dari situlah kita bisa menepis stigma negatif dari masyarakat bahwa perempuan itu tidak perlu yang namanya pendidikan yang tinggi. Tidak menutup bahwa perempuan juga bisa menjadi pribadi yang berkualitas dari laki-laki. Artinya, kita bukan penjarakan antara laki-laki dan perempuan. Kita memiliki kesamaan hak yang sama, kita memiliki kesempatan belajar yang sama. Perempuan juga boleh sampai S3 dan hal itulah yang menjadi salah satu PR kita dan perlu kita buktikan dan implementasikan kenyataannya masih banyak pemimpin-pemimpin di negeri ini yang dipelopori adalah perempuan seperti itu ya teman-teman terima kasih".
Penulis: AU, MH.
Komentar
Posting Komentar