INTERNALIZED SEXISM SEBUAH STUDI LITERATUR DENGAN MENGGUNAKAN KAJIAN TEORI FEMINIS
INTERNALIZED SEXISM
SEBUAH STUDI LITERATUR DENGAN MENGGUNAKAN KAJIAN TEORI FEMINIS
Adinda Rizqi Arbaningrum | 1906026048
Program Studi Ilmu Sosiologi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negri Walisongo Semarang
- Indonesia
Pendahuluan
Seksisme adalah perlakuan tidak adil yang
biasanya ditujukan kepada wanita, karena dianggap
berbeda, entah itu tentang kepercayaannya atau tentang perilakunya. Wanita
dapat mendapatkan sexism dari beragai cara dan tidak
menganal umur (Rahmani, 2020) dengan kata lain, seksisme terdapat di semua pengalaman wanita. Apakah
seksisme adalah prasangka? Meskipun pertanyaan ini sulit dipercaya, tapi bila dilihat dari
defines Allport (1945) tentang prasangka
rasial yang berpengaruh, Allport menulis bahwa prasangka adalah “antipasti yang didapat dari generalisasi yang salah dan
tidak fleksibel”. Prasangka biasanya muncul karena adanya hubungan empati,
seperti jarak sosial,
dan stereotip negatife yang dibangun.
(Fiske, 1996) Dalam teorinya Ambivalent sexism teory. Menganggap
seksisme sebagai multi-dimensi yang
mencakup dua perangkat sifat seksis, yaitu seksisme yang bermusuhan dan bermaksud baik. Menurut Glick dan Fiske
seksisme yang baik tidak selamanya dialami oleh si penerima, missal seorang pekerja laki-laki yang membicarakan betapa
“manis” teman kerja wanitanya, hal
ini bermaksud baik yaitu memuji namun sebenarnya bisa dikategorikan negatife karena tidak sesuainya standart prasangka
(Allport, 1945). Seksime yang baik dapat dibuktikan dengan perilaku, penelitian menyebutkan bahwa
banyak masyarakat yang meminta tolong kepada
wanita terlebih dahulu daripada laki-laki bahkan dengan lebih intim untuk
meminta tolong kepada wanita asing daipada laki-laki
yang asing. Eagly dan Mladinic
(1993) telah membuktikan lebih banyak stereotip positif
wanita daripada laki-laki dalam dimensi tertemtu. Namun, perlu diingat. Penting untuk memperhatikan prevalensi
yang tidak bersahabat, untuk menyeimbangkan situasi.
Internalized
sexism dapat diartikan sebagai kecenderungan dari
Sebagian wanita untuk merendahkan, berkomentar yang tidak membangun, menyabotase identitas, potensi,
dan keberhasilan seorang
wanita. Banyak dari wanita yang mungkin secara tidak sadar, telah mengaminkan adanya seksim ini, baik dari
tindakan mereka pada dirinya sendiri maupun pada oranglain. Internalized
sexism adalah salah satu bentuk patriarki dengan cara pencucian otak berskala
sosial dan psikologi (Ni, 2020).
Telepas dari Internalized sexism disengaja maupun tidak, efeknya bersifat
kumulatif, sexism berkembang secara luas, mempengaruhi cara perempuan membentuk karakter dan identitas mereka,
bagaimana cara perempuan
membentuk makna atas diri mereka,
atas pengalaman, keputusan
pilihan hidup. Bahkan tanpa adanya campur tangan dari laki-laki, praktik sexism ada dikalangan sesame perempuan.
Dalam (Rahmani, 2020) mendefinisikan bahwa sexism di definisakn sebagai ‘prejudice
or discrimination, based on sex” dengan kata lain, seksisme
dapat dikatakan sebagai
bentuk penindasan gender.
Padaumumya, waninta mengalami berbagai bentuk penindasan dengan derajat
yang berbeda-beda, entah inseden tersebut
di rasakan maupun
tidak.
(Steve Bearman, 2009) Percakapan
dapat terjalin karena adanya konvensi, motivasi, negosiasi, yang membentuk kehidupan dalam komunitas budaya. Jika
seksisme adalah bagian dari budaya,
maka seksisme adalah
benang merah dari percakapan dijalin.
Seksisme menjadi perbincangan yang
menarik, karena dalam nyatnya masih banyak individu yang mengaminkan adanya praktik seksisme
ini. Dan menjadi
tambah menarik sekaligus asik untuk dikulik karena pelaku
dari seksisme bukan hanya laki-laki, namun juga dengan wanita. Bukankah aneh, bila yang seharusnya saling
memberikan rasa semangat namun dalam aksinya
memberikan kebencian.
Tulisan ini berdasarkan dari teori
feminis yang memperjuangkan wanita atas haknya, tulisan ini berangkat dari adanya rasa bingung dan penasaran,
mengapa wanita melakukan victim blaiming sesama wanita. Yang lalu menemukan teori dari Glick dan Fiske yang menjelaskan tentang ambivalent sexism teory. Seerti yang telah dijelaskan diawal bahwa
G;ick dan Fiske berpendapat jika,
seksisme adalah multi-dimensi yang mencakup dua perangkat seksis,
yaitu seksisme bermusuhan, dan yang dianggap baik. Menurutnya, kedua jenis
seksisme ini berkolerasi dengan dukungan
ketidaksetaraan jenis
kelamin.
Nilai seorang wnaita diukur
dari gaya tariknya, menurut teori objektivitas (Fredickson & Roberth, 1997). Banyak pesan
budaya yang meresap
dan diperparah dengan
interaksi personal. Teori ini lebih akurat untuk menyikapi pengalaman hidup wanita, disbanding dengan teori yang lain. (Roberts,
1997) membahas konsekuensi kesehatan mental dengan cara menjadikan kelompok lebih obyektif
secara seksual.
Teori terapi feminitas berkembang mengikuti feminisme pada akhir 1960 untuk melayani wanita dengan lebih baik dan
masalah yang dihadapi dikehidupan mereka. Teori ini menjadi penting, karena berangkat dari akar konteks
sosial, budaya, serta politik dimana perempuan
ada. Feminisme gelombang kedua
memhami bahwa perempuan
adalah politik. Teori
ini unik, karena menwarkan informasi penting seputas asal mula masalah
kesehatan mental pada perempuan, oleh
karena itu pula, disediakannya dokter dengan data point tambahan yang dibuat
dan dapat digunakan
untuk membuat konsep dan membuat
yang sesuai rencana
perawatan relevan dan afektif.
Feminisme bersikeras bahwa
kepercayaan sosial tentang gaya tarik fisik dan harga diri saling terkait. Wanita dapat mengatur cara
mereka mengkonsepsualisakan diri mereka sendiri melalui lensa perwujudan. Seberapa dalam mereka
menginternalisasikan pesan yang berkaitan dengan
seberapa sukses dan diterima mereka. Wanita percaya akan berada dalam hubungan interpersonal.
Artikel ini menggunakan riset kualitatif dengan
pendekatan studi literatur
dan agar lebih baik digunakan
metode etnografi dalam penelitian.
Internalized Sexism
Penting untuk ditekankan bahwa banyak wanita yang telah melakukan internalized sexism
secara sadar maupun tidak menyadai
kata-kata kasar dan tindakan mereka yang melemahkan dirinya sendiri. Banyak pula
yang tumbuh lingkungan yang mengaminkan serta
membenarkan stereotip gender, dan ketidaksetraan dalam masyarakat,
agama, lembaga, media populer, media sosial, dan iklan massa. Beberapa perempuan
bahkan merasa harus membenarkan dan membela kesetaraan gender.
(Ni, 2020) mencoba menjelaskan tanda
yang paling umum dari adaya seksisme yang diinternalisasi
ini.
1. Seringnya membuat
pernyataan atas kekurangan dari tubuh mereka
2. Membuat komentar tentang bentuk fisik dari wanita yang lain (body shmaning)
3. Memandang wanita lain sebagai pesaing dalam situasi sosial dan keluarga, terutama dalam meminta validasi dari laki-laki.
4. Memandang wanita lain sebagai musuh dalam situasi profesional, terutama mereka yang memiliki posisi kepemimpinan yang sangat terlihat.
5. Mengaminkan adanya
stereotip yang ada
6. Membuat komentar
atas perempuan dengan stereotip negatife
yang berkembang
7. Menjadi penghalang bagi wanita yang lain untuk mewujudkan impiannya
8. Menerapkan standrat salah yang berkembang dimasyarakat seperti adanya untung yang ganda yang dimiliki laki-laki
9. tidak berdaya atas apa yang terjadi pada diri sendiri atau pada perempuan yang lain
10. Victim blaiming kepada sesame wanita
Beberapa
wanita pasti pernah melakukan diantara 10 hal diatas yang menunjukan wanita
juga berperan dalam adanya patologi
sosial.
Sexism dapat terjadi dalam percakapan juga, dimana percakapan sehari-haru dijalani dari
konvensi, motivasi, dan negosiasi yang membentuk kehidupan dalam
komunitas budaya, ketika seksisme
adalah bagian dari budaya maka akan menjadi bennag merah dalam percakapan yang dijalin. Berikut adalah contoh percakapan.
“Aku tidak tahu Ia pergi kemana, tapi aku melihat Bill dan si cewek berambut pirang” “Dia sudah menikah, tapi lihatlah bentuk tubuh dan wajahnya, sangatlah imut dan manis”
Kutipan pertama menunjukan jenis objekivitas pertama, dimana penutur mengidentifikasi wanita dari penampilan fisik, bukan dari sebuah hubungan atau berdasarkan perilaku. Kutipan kedua, menunjukan objektifitas evaluative, yaitu mengukur seseorang dengan standart eksternal bagaiama ia seharusnya terlihat.
Anda pasti telah membayangakan, siapakah penutur tersebut. Apakah laki-laki atau malah perempuan. Coba anda bayangkan bila penutur tersebut laki-laki, kemudian bayangkan si penutur tersebut adalah wanita. Dari dua kutipan tersebut, penuturnya adalah seorang wanita. Mengapa wanita berbuat dan berkata-kata kasar seperti halnya laki-laki yang berbicara. Yang lebih parah adalah mereka, membicarakan pihak ketiga yang tidak hadir dalam obrolan tersebut.
Penindasan atas internalized sexism
Efek penindasan akibat dari internalized sexism seringkali tidak disadari dan bahkan diterima dengan begiu saja, hampir semua individu lahir kedalam masyarakat yang menindas jadi, bisa dikatakan kami adalah sama. Penindasan menargetkan individu yang dianggap kelompok sasaran. Identitas dan hidup kita jalani dalam negosiasi tanpa henti dan penindasan kekuatan.
Ciri utama seksisme, seperti
penindasan terhadap kelompok mana pun, adalah adanya perbedaan kekuasaan yang dilembagakan antara kelompok penindas
(laki-laki dalam kasus seksisme)
dan kelompok tertindas (dalam seksisme, perempuan). Penindasan dijelaskan dengan
populer dengan rumus: penindasan = prasangka + kekuasaan. Meski terlalu disederhanakan, rumus ini mengoreksi kepercayaan yang sering
keliru bahwa prasangka
dengan sendirinya menindas, menimbulkan gagasan yang salah
informasi seperti "rasisme terbalik" dan "seksisme terbalik". Sedangkan individu wanita atau wanita secara keseluruhan dapat memberlakukan prasangka prasangka terhadap pria atau terhadap
tertentu laki-laki sebagai sebuah kelompok,
ini dilakukan tanpa
dukungan dari sistem
kelembagaan kemasyarakatan kekuasaan.
Seksisme yang terinternalisasi melibatkan dinamika internal
di dalamnya kelompok
tertindas. Ini membantu menjaga seksisme secara keseluruhan melalui
sistem sosial harapan dan tekanan
yang terjadi di antara wanita. Padahal penindasan yang diinternalisasi adalah a bagian kunci dalam teka-teki penindasan,
itu telah menerima perhatian yang tidak memadai di dalamnya psikologi. Seksisme internal jarang dibahas sebagai
kerangka kerja yang koheren memahami pengalaman perempuan, meskipun banyak dari praktik
yang terkandung di dalamnya seksisme
yang diinternalisasi telah diselidiki
secara individu.
Dialogis sexism
Percakapan adalah tindakan yang terdiri dimana pembicara membangun
navigasi mereka dengn
membangun dunia sosial saat mereka secara dynamin menegosiasikan dunia mereka.
Bagaimana perwujudan dari adanya percakapan yang terinternalized sexism ini.
Persaan
tidak berdaya dan tidak kompeten: semua bentuk
penindasan membutuhkan daya untuk sebuah energi,
terinternalisasi penindasan membantu
untuk mempertahankan asimetri kekuasaan dengan menjaga anggota
tertindas kelompok merasa tidak berdaya dan karena
itu bertindak tanpa daya. Misalnya, karena seksisme, anak perempuan hanya
diberikan sedikit panutan
perempuan di ilmu pengetahuan dan mungkin bertemu
dengan harapan rendah
atau keputusasaan di pihak orang dewasa tentang kemampuan matematika dan
ilmiah mereka, bahkan tentang
kecerdasan mereka secara umum. Seorang
gadis dalam kondisi
seperti itu dapat
menginternalisasi ketidakadilan dan menyatakan bahwa dia hanya
tidak pandai matematika dan sains. Mungkin
perasaan tidak berdaya diekspresikan sebagai pernyataan ketidakmampuan yang pada gilirannya dapat memperkuat pengertian tidak berdayaan dan perilaku tidak berdaya
Dengan tidak adanya seksisme yang terinternalisasi (dan persinggungannya dengan bentuk-bentuk lain penindasan yang diinternalisasi), anak perempuan akan belajar bahwa mereka mampu berjuang untuk apa pun mereka memilih dan mencapai tujuan yang bahkan sangat menantang. Sense of power adalah asumsi bahwa wanita tidak perlu menerima hubungan, karier, atau keadaan hidup yang tidak mereka inginkan. Sebaliknya, seksisme yang diinternalisasi, dan nya disertai rasa ketidakberdayaan yang terinternalisasi, memperkuat harapan rendah wanita mungkin telah belajar tentang apa yang pantas mereka dapatkan dalam hidup dan apa yang mampu mereka lakukan terhadap.
Persingan
antar wanita: Wanita sering bersaing untuk
mendapatkan sumber daya yang tampaknya terbatas, seperti preferensi sosial
Posisi, pasangan pria ideal, rasa hormat, harga dan bentuk modal sosial lainnya. Kompetisi
ini mungkin gosip yang berbahaya, Pengucilan sosial, perbandingan zero-sum dengan wanita lain, dan wanita yang
menempatkan wanita Turunkan satu sama
lain atau manipulasi ke posisi yang lebih rendah dalam upaya membuat diri
sendiri terlihat lebih baik. Orang lebih mudah membandingkan diri kita sediri
dengan orang lain,
dalam konteks in group lebih condong dengan
membandingkan dengan grup yang lain. Akibatnya, kita akan berkawan dengan yang sesama
mmebenci agar adanya pelindungan satu sama lain.
Dari prespektif Markxian, agar
struktur kekuasan tidak adildapat dipertahankan maka menggunakan sistem penindasan, namun jika kelompok
yang tertindas tersebut
mampu mencapai solidartas yang tinggi, mereka mungkin menjadi
ancaman bagi kelompok
yang berkuasa. Jadi seksisme
yang terinternalisir dapat menjadi pemicu pemecahnya wanita, karena internalized sexism membuat wanita melawan dalam persaingan.
Invalidasi
dan pengihanaan: Bahasa dapat membantu mempertahankan
kekuatan dan ketidakseimbangan antara
kelompok dan tujuan bullying itu
menjadi sangat buruk. Ego dan meremehkan
pengalaman mereka di dunia. Penghinaan dan kritik menyebabkan stigma sosial yang menginternalisasi. Tujuan penghinaan menjadi
penting bagi diri mereka sendiri
dan kelompok mereka.
Terkait caranya,
bahasa apa yang dapat meremehkan anggota kelompok yang tertindas sehingga
menjadikannya illegal pikiran,
opini, keyakinan, preferensi, perasaan, keinginan
dan pilihan. Sistematis Penghapusan memainkan peran khusus dalam diskriminasi gender internal, mendorong perempuan untuk
tetap diam. Suara mereka tidak mempercayai penilaian mereksendiri dan menyerahkan pikiran
mereka kepada orang-orang dan wanita lain.
Kesimpulan
Hal yang penting dalam feminisme
adalah, “woman can be whatever they wanna
be, womanliness is ever and I have to
embrace it” (Gita, 2019) menginginkan apa yang diinginkan selama mematuhi aturan hukum adalah hak
untuk semua orang, termasuk wanita. Sama halnya dengan maskulinitas, feminitas juga bagian dari kontruksi
sosial. Tidak sepatutnya bila sesame wanita
saling menjatuhkan dan bersaing, seharusnya berbuat untuk saling memberikan
rasa semangat satu sama lain. Karena
musuh yang sebenarnya
adalah. Patriarki.
Sexism
dapat terjadi dan menjadikan oleh siapa saja tanpa
sadar, semua akan Kembali kepada diri kita masing-masing tentang bagaimana kita akan menjadi
manusia yang baik, terkadang
bebuat baik kepada diri sendiri saja masih kesulitan. Mencoba dan menerima,
adalah dua hal yang penting untuk
dilakukan. Karena kita tidak mencoba, maka sudah pasti kita tidak akan pernah mengenali diir kita, maka dari
itu mencobalah. Menerima, bila kita telah mencoba maka ada hal lain yang harus kita kerjakan lagi, yaitu menerima.
Bagaimanapun kita tetap harus menerima atas apa yang ada pada diri
kita, setelah mencoba untuk berkenalan maka kita harus menerima diri kita.
Tak selamanya yang
putih akan tetap putih, dan tak selamanya yang hitam menjadi
hitam terus menerus.
Bukankah lebih baik jika Bersatu
hingga menjadi abu-abu.
Kita tidak tahu apakah putih
atau hitam, yang harus kita yakini
adalah percaya pada diri sendiri.
Tulisan ini masih jauh dari kata sempurna, karan keterbatasan wawasan penulis dan kurangnya sumber-sumber, penulis akan senang bila ada yang melanjutkan penelitian ini secara mendalam. Berikut rekomendasi sumber yang sangat berhubungan dengan tema penulisan ini. Syeda Farzahna Rahmani (University Louis National) menulis disertasinya yang berjudul “Women’s Experience Internalized Sexism” Steve Bearmen, Neil Korobov, Avril Thorne, menulis artikel dengan judul “The Fabric Of Internalized Sexism” yang dikutip pada jurnal Journal Of Integrated Social Sciences
Sumber:
- Fiske, P. G. (1996).
The Ambivalent Sexism
Inventoring: Differentianting Hostile
and Benevolent Sexism. Journal of Personality and Social Psychology , 491-512.
- Galliher, A. J. (2019, Vol. 24 No. 4). Young Women's Sexist Beliefs and Internalized Misogyny:Links With Psychosocial and Relational Functioningand Political Behavior. Retrieved from Psi Chi, Journal Of Psychological Research: https://cdn.ymaws.com/www.psichi.org/resource/resmgr/journal_2019/24_4_dehlin.pdf
- Ilyas, W. J. (2015). Perempuan dan Korupsi: Seksisme Dalam pemberitaan Media Online. Jurnal Masyarakat dan Budaya - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 3.
- Ni, P. (2020, Mei 17). 10 Sign For Internalized Sesism and Glaslighting. Retrieved from Psychology Today: https://www.psychologytoday.com/intl/blog/communication-success/202005/10-signs- internalized-sexism-and-gaslighting
- Rahmani, S. (2020, April 6). Women's Experience Of Internalized Sexism. Retrieved from National Louis University: https://digitalcommons.nl.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1485&context=diss
- Roberts, B. L.-A. (1997). Objectifition Theory Towards Understanding Women's Live Experiences And Mental Health Risk. Pshychology Of Women Quarterly, 173-206.
- Steve Bearman, N. K. (2009). The Fabric Of Internalized Sexism. Journal Of Integrated Social Science, 1- 40.
Komentar
Posting Komentar