Inkonsistensi Pemerintah Dalam Penanganan Pandemi Covid-19

 Inkonsistensi Pemerintah Dalam Penanganan Pandemi Covid-19

( Kajian Teori Strural Fungsional)


Hanif Dwi Kurniawan

Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu politik (FISIP) 

Universitas Islam Negri Walisongo, Semarang-Indonesia


                                                     
                                                Gambar 1.0: Sumber (Nusa Daily.com)


Pendahuluan 

          Sejak masuknya Covid-19 ke Indonesia pada awal Maret 2020, angka terkonfirmasi positif terus bertambah. Terhitung 8 Desember 2020 total kasus terkonfirmasi positif mencapai 586.842 orang, dengan angka kematian sebanyak 18.000 orang dan angka yang telah dinyatakan sembuh sebanyak 483.497 orang (CNN Indonesia, 2020). Penambahan kasus terkonfirmasi positif setiap harinya menimbulkan pertanyaan dan perdebatan terkait keefektifan kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19. Ditambah serangkaian dampak ekonomi dan sosial yang dihasilkan dari kebijakan-kebijakan pemerintah pusat maupun daerah (Wicaksana, 2020). 

          Menurut (MS & Rizaldi, 2020) kondisi ini tentu sangat berbahaya dan membutuhkan penanganan yang serius. Wabah Covid-19 di Indonesia sudah menunjukkan titik kritis yang berpengaruh terhadap aspek multidimensional di bidang berbagai bidang, yakni sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Ketidakseriusan pemerintah dalam penanganan Covid-19 sama artinya dengan tindakan menghancurkan bangsa sendiri. Bagaimana tidak, prevalensi penyebaran Covid-19 telah menyentuh seluruh lapisan masyarakat, mulai dari kalangan remaja hingga kalangan tua. Jika hal ini dibiarkan, bukan tidak mungkin Indonesia akan merugi secara materil maupun non materil. 

        Covid-19 telah memunculkan serangkaian kebijakan publik yang diadopsi oleh pemerintah dengan berbagai desain dan konten kebijakan yang beragam. Saat awal pandemi, sebagian besar negara menerapkan kebijakan lock down, yaitu menutup atau membatasi perbatasan mereka dan membatasi perjalanan di dalam perbatasan (social distancing). Sepertiga dari populasi dunia telah mengalami beberapa pembatasan sosial, mulai dari penutupan sekolah hingga anjuran untuk tetap di rumah saja. Namun, kebijakan ini tidak serta-merta diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Adopsi kebijakan pemerintah Indonesia terkesan mengutamakan aspek ekonomi daripada fokus penanganan penyakit yang mengancam keselamatan warga negara. Pada akhirnya, kebijakan ini berdampak besar pada ancaman serius keselamatan warga negara dan ancaman nyata pada konstraksi pelemahan perokonomian nasional (Engkus et al., 2019).  

      Kebijakan yang baik saja tidak cukup untuk menangani pandemi Covid-19 di negeri ini. Dibutuhkan pula komitmen dari masyarakat untuk mematuhi segara aturan dan kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah. Kepatuhan masyarakat hanya akan muncul jika masyarakat memiliki sistem kepercayaan yang sama dengan pemerintah (MS & Rizaldi, 2020). Untuk itu, Kapolri Jenderal Idham Azis mengeluarkan surat telegram yang berisi tentang penegakan protokol kesehatan Covid-19. Surat telegram bernomor ST/3220/XI/KES.7/2020 tersebut ditandatangani oleh Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo pada tanggal 16 November 2020. Salah satu isi surat telegram tersebut ialah perintah kepada jajaran kepolisian untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu terhadap para pelanggar protokol kesehatan, yang mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat (Halim, 2020). 

         Banyaknya pelanggaran protokol kesehatan Covid-19 di Indonesia dapat dilihat dari jumlah denda yang terkumpul. Berdasarkan laporan Liputan6.com pada 6 Oktober 2020 bahwa Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono, memberitahukan bahwa pihaknya telah mencatat jumlah sanksi administrasi pelanggar protokol kesehatan pencegahan penyebaran Covid-19 sebanyak 43 ribu kali senilai Rp 2,6 miliar. Jumlah tersebut merupakan akumulasi penegakan aturan protokol kesehatan Covid-19 di seluruh Indonesia melalui giat Operasi Yustisi 2020. Tak hanya itu, petugas juga menemukan sejumlah pelaku usaha yang melakukan pelanggaran disiplin protokol kesehatan Covid-19, sehingga dilakukan penertiban hingga penutupan sementara (Putra, 2020).  

       Pelanggaran protokol kesehatan Covid-19 banyak menuai kritik oleh berbagai pihak di masyarakat. Kritikan tersebut muncul karena rasa kecewa kepada para pelanggar protokol kesehatan yang terus bertambah. Menurut sumber (BBC News, 2020) sejumlah pakar epidemologi di Indonesia khawatir dengan longgarnya penerapan protokol kesehatan serta lemahnya pengawasan terhadap lokasi-lokasi tertentu yang menimbulkan kerumunan akan menyebabkan jumlah kasus positif Covid-19 melonjak tinggi dan imbasnya puncak Covid-19 di Indonesia semakin sulit diprediksi. 

Dalam mengkritik pun kita harus berhati-hati. Kritikan yang dianggap menghina presiden dan pejabat lainnya akan dikenakan sanksi yang diatur dalam pasal-pasal UU ITE dan KUHP. Namun menurut Direktur Eksekutif Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR), Erasmus A. T. Napitupulu, ia menilai bahwa polisi memanfaatkan pandemi Covid-19 untuk membungkam kebebasan berpendapat. Bahkan menurutnya, pandemi Covid-19 dijadikan sebagai momen untuk membungkam kebebasan berpendapat warga negara secara eksesif melalui penjeratan pasal-pasal UU ITE dan KUHP oleh aparat penegak hukum (Halim, 2020). 

      Tujuan penelitian ini yaitu untuk melihat bagaimana pemerintah selaku pembuat kebijakan dalam menangani pandemi Covid-19. Penulis melihat bahwa kebijakan yang diambil pemerintah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Untuk itu, penulis juga akan melihat sudut pandang masyarakat terkait serangkaian kebijakan yang selama ini telah diambil pemerintah beserta dampak-dampaknya. 

    Hasil penelitian (MS & Rizaldi, 2020) menunjukkan bahwa kebijakan yang diambil pemerintah menunjukkan penalaran rasional. Penalaran rasional terhadap keadaan darurat kesehatan ini dapat diterima secara rasional oleh masyarakat. Namun, ada respons yang berbeda oleh beberapa orang, terutama kelas menengah ke bawah. Hal ini disebabkan oleh kerentanan sosial yang disebabkan oleh keterbatasan sumber daya sehingga "terpaksa" menerobos penalaran rasionalitas negara dalam kebijakan penanganan pandemi koepidemik19 di Indonesia. Solusinya adalah kemampuan negara untuk menjamin keamanan ekonomi setiap keluarga. Sehingga rasionalitas negara dan masyarakat akan sama dalam menghadapi pandemi Covid 19. 

   Sedangkan hasil penelitian (Engkus et al., 2019) menunjukkan bahwa kebijakan yang tidak menempatkan kesungguhan pada fokus masalah dan tidak terukur dalam konteks penanganan wabah Covid-19, maka pemerintah tidak akan dapat meminimalkan kematian akibat Covid-19 dan dampak sosial ekonomi dari penyebaran virus akan sangat dalam dan serius. Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan (Batoebara, 2020) menunjukkan bahwa komunikasi pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19 sangat buruk, sehingga menimbulkan kebingungan di masyarakat. Cara komunikasi yang buruk dari pemerintah menyebabkan kebijakan dalam penanganan Covid-19 tidak efektif. Untuk itu, diperlukan komunikasi yang baik dalam pelaksanaan kebijakan yang berlaku oleh pemerintah. 

      Teori tindakan komunikatif Habermas memiliki gagasan utama, yaitu bahwa komunikasi membuka jalan untuk saling memahami antaraktor sehingga tercapainya konsensus atau kesepakatan bersama. Jalan untuk mencapai konsensus tersebut yaitu dengan cara para aktor mau berdialog. Para aktor bisa saling mengajukan gagasan yang menurutnya benar (Habermas mengistilahkan dengan klaim kebenaran) dengan argumentasi, maupun bukti-bukti. Untuk itu, mereka harus terbuka untuk dikritik dan harus bisa menerima kebenaran yang berasal dari lawan bicara. Maka, klaim-klaim kebenaran subjektif dari masing-masing aktor akan mencapai titik temu dan melahirkan kebenaran inter-subjektif, yaitu kesepakatan, konsensus atau kesepahaman bersama. Namun, untuk mencapai konsensus tentang klaim kebenaran tersebut terdapat 4 syarat yang harus dipenuhi, yaitu bahwa kebenaran itu harus dapat dipahami, bersifat objektif, sesuai dengan norma setempat, dan berasal dari pengalaman dan kejujuran si aktor (Abrori, 2016). 

   Selain itu, penelitian ini juga menggunakan teori struktural fungsional sebagai landasannya. Struktural fungsional menekankan teorinya pada keteraturan. Teori ini memandang masyarakat sebagai suatu sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian yang terkait dan menyatu dalam keseimbangan. Teori ini mengasumsikan bahwa setiap struktur maupun tatanan dalam sistem sosial akan berfungsi pula pada yang lain, sehingga bila tidak ada fungsional, maka stuktur ini tidak akan hilang dengan sendirinya. Stuktur dan tatanan merupakan fungsional bagi masyarakat tertentu. Teori ini cenderung memusatkan kajianya pada fungsi dari suatu fakta sosial terhadap fakta sosial lain (Maunah, 2015). 

   Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini yaitu studi literatur. Data yang diperoleh merupakan jenis data sekunder berupa jurnal/artikel dan berita digital dari berbagai media. Data tersebut dirubah ke dalam bentuk narasi dan dianalisis menggunakan teori di atas yang kemudian diberikan pemaknaan melalui proses intrepretasi data.

 

Kebijakan Pemerintah dalam Menangani Pandemi Covid-19 

   Pemerintah telah berupaya mencegah dan menangani terjadinya penyebaran serta penularan virus Corona ke dalam masyarakat dengan membuat serangkain kebijakan. Kebijakan tersebut ada yang bentuknya tertulis maupun tidak tertulis. Bentuk dari kebijakan tertulis misalnya seperti Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (PERPRES), Peraturan Menteri (PERMEN), Peraturan Daerah (PERDA), Peraturan Bupati (PERBUP), Peraturan Walikota (PERWALI), dan lainlain termasuk di dalamnya adalah Surat Keputusan (SK), dan Surat yang berasal dari pemerintah. Sedangkan bentuk dari kebijakan yang tidak tertulis adalah ajakan tidak tertulis yang berasal dari pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh budaya, tokoh agama, yang berisi larangan dan himbauan terkait dengan pencegahan dan penanganan Covid-19 (Tuwu, 2020). 

    Salah satu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah yaitu kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan ini dimuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019. Kebijakan ini dibentuk untuk mengurangi peningkatan dan penyebaran Covid-19 di wilayah tertentu. Menurut peraturan tersebut, pelaksanaan PSBB mengatur beberapa aktivitas masyarakat seperti beralihnya pelaksanaan sekolah dan kerja menjadi via daring, pembatasan moda transportasi, penundaan kegiatan sosial dan budaya, pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, dan pembatasan kegiatan keagamaan serta pembatasan kegiatan lainnya (Wiranti, Sriatmi, dan Kusumastuti, 2020).  

   Pandemi yang telah berlangsung hampir setahun ini memberikan banyak dampak dalam berbagai bidang. KOMPAS.com melaporkan bahwa pembatasan aktivitas masyarakat berpengaruh pada aktivitas bisnis yang kemudian berimbas pada perekonomian.  Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Agustus menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 minus 5,32 persen. Sebelumnya, Badan Pusat Statistik juga melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 2,97 persen pada kuartal I 2020. Angka tersebut turun jauh dari pertumbuhan sebesar 5,02 persen pada periode yang sama 2019 lalu (Rizal, 2020). 

   Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya terbaik dalam mengurangi dampak dari pandemi corona ini, segala upaya telah dilakukan termasuk kebijakan PSBB yang membatasi aktivitas masyarakat. Namun, kebijakan tersebut tentu sangat bertentangan dengan kebiasaan masyarakat saat sebelum adanya pandemi Covid-19 (Tuwu, 2020). Ditambah, sepertinya kebijakan tersebut tidak bisa terus dilakukan, karena mengingat roda perekonomian harus tetap berjalan dan masyarakat harus memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mencari nafkah, Begitu juga dengan pemerintah yang tidak bisa selamanya memberikan bantuan sosial kepada masyarakat yang terdampak pandemi ini. Tak bisa disangkal bahwa negara memperoleh pemasukan kas terbesar dari pajak. Namun, di situasi saat ini bagaimana caranya masyarakat, perusahaan, dan toko-toko membayar pajak sedangkan mereka tidak bisa menjalankan aktivitas. Tentunya pemerintah juga tidak bisa mengurusi rakyatnya jika tidak ada pemasukan kas negara.  Kondisi ini merupakan dilema yang harus dihadapi oleh pemerintah saat ini (Pratama, 2020). 

      Pemerintah pun mengeluarkan kebijakan baru yang disebut new normal. New normal merupakan istilah yang biasa digunakan ketika memasuki kondisi dan kebiasaan baru setelah lepas atau bahkan tidak bisa lepas dari suatu wabah. Disebut juga sebagai kondisi dimana kita harus bisa beradaptasi dengan kebiasaan dan perilaku baru dalam membatasi diri untuk mencegah dari terjangkitnya virus. Isi dari kebijakan ini yaitu membuka kembali aktifitas ekonomi sosial dan kegiatan publik secara terbatas dengan menggunakan standar kesehatan yang sebelumnya tidak ada sebelum pandemi. Namun kebijakan memerlukan sinergitas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk tetap memastikan pelayanan kesehatan masyarakat, tersedianya sarana dan prasarana perawatan, peralatan medis, dan melindungi mereka yang rentan melalui penyiapan jaringan pengamanan sosial yang tepat sasaran dan perlindungan sosial (Pratama, 2020). 

     Selain itu, untuk pemerintah juga melaksanakan program Jaring Pengaman Sosial untuk penanganan dampak Covid-19 dengan menyiapkan anggaran 110 Triliun rupiah. Program tersebut terdiri dari Program Keluarga Harapan (PKH), program sembako, kartu prakerja, subsidi listrik, insentif perumahan, sembako Jabodetabek, bansos tunai non-Jabodetabek, dan Program Jaring Pengaman Sosial lainnya. Sayangnya, pengelolaan data yang buruk selama bertahun-tahun membuat program yang diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo menjadi compang-camping di lapangan. Fakta di lapangan telah mengamini bahwa buruknya data pemerintah telah menyebabkan kegaduhan di kalangan masyarakat, tidak hanya terjadi di tingkat pusat tetapi juga ditingkat daerah. Berdasarkan laporan Koran TEMPO tahun 2020, bahwa Program Jaring Pengaman Sosial yang ditujukan untuk mengurangi dampak Covid-19 acak-acakan, tumpang tindih, dan salah sasaran akibat data amburadul (Tuwu, 2020). 

    Pada hakikatnya, kebijakan merupakan media bagi pemerintah dan masyarakat untuk berinteraksi dan menyatukan pengetahuan. Kebijakan harus bisa mengakomodir kepentingan berbagai pihak sehingga mampu menjamin terpenuhinya kebutuhan. Proses pengelolaan kebijakan merupakan interaksi yang berlangsung antara negara dan masyarakat (MS & Rizaldi, 2020). Jika kebijakan tidak dapat memenuhi kepentingan berbagai pihak, maka perlu adanya evaluasi. Evaluasi tersebut dapat dilakukan dengan cara mendengar dan melihat realitas di lapangan, seperti keluhan, kritik, dan argumen yang disampaikan oleh masyarakat. 

Ketegasan Aparat Keamanan dalam Menegakkan Peraturan 

   Sumber berita (CNN Indonesia, 2020) melaporkan bahwa Presiden Joko Widodo memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri mengawasi warga agar meningkatkan disiplin dalam penerapan protokol kesehatan di tengah pandemi virus corona. Perintah presiden tersebut tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19. Juru Bicara Presiden Bidang Sosial Angkie Yudistia mengatakan selain memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri, presiden juga menginstruksikan sejumlah menteri dan kepala lembaga lainnya, maupun kepala daerah untuk turut mengawasi penerapan protokol kesehatan. Instruksi tersebut sudah ditekankan Presiden Jokowi pada 4 Agustus 2020. Tak hanya itu, instruksi tersebut juga mengatur terkait sanksi bagi para pelanggar protokol kesehatan, Angkie mengatakan dalam Inpres tersebut, bahwa presiden memberikan instruksi agar kepala daerah menyusun petunjuk pelaksanaan dalam bentuk peraturan gubernur/bupati/wali kota. Namun, peraturan yang dibuat kepala daerah tetap harus memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan memperhatikan dengan betul bahwa pengawasan dilakukan dalam koridor penegakan disiplin, penegakan hukum, dan ketertiban masyarakat.

     Namun dalam realitas lapangan, penindakan terhadap kerumunan massa yang mengabaikan protokol kesehatan pencegahan Covid-19 dinilai terhambat oleh inkonsistensi kebijakan pemerintah. Kemauan politik dalam penanganan pandemi pun dipertanyakan. Beberapa waktu terakhir, kerumunan massa mewarnai penanganan pandemi virus Covid-19 di Indonesia. Di antaranya, yaitu acara Maulid Nabi Muhammad dan pernikahan putri pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab serta kegiatan lain yang dihadirinya, hingga pendaftaran bakal calon kepala daerah dan pengambilan nomor urut paslon di Pilkada 2020 (Anugrah, 2020). Kegiatan tersebut menimbulkan kerumunan massa yang tak terhitung jumlahnya. Akibatnya dapat menimbulkan cluster baru penyebaran Covid-19. 

   Dikutip dari rilis Sekretariat Presiden pada 16 November 2020 dalam rapat terbatas penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional, Presiden Joko Widodo menyorot kinerja penegak hukum soal ketegasan bagi pelanggar protokol kesehatan. Jokowi mengingatkan pengorbanan dan perjuangan para tenaga kesehatan yang menangani pandemi Covid-19 di garda terdepan. Menurutnya, jangan sampai perjuangan para dokter, perawat, tenaga medis, dan paramedis selama ini menjadi sia-sia karena pemerintah tidak bertindak tegas, Bahkan sebelum Presiden Jokowi, Menko Polhulkam Mahfud MD juga turut menyampaikan bahwa pemerintah akan memberi sanksi kepada aparat yang tak tegas menegakkan protokol kesehatan. Saat menyampaikan pesan pemerintah ini, Mahfud memberi penekanan kepada aparat keamanan (Alfons, 2020). 

      Kapolda Metro Jaya Irjen Nana Sudjana dan Kapolda Jawa Barat Irjen Rudy Sufahriadi dicopot dari jabatannya oleh Kapolri Jenderal (Pol) Idham Aziz akibat dinilai lalai dalam menegakkan protokol kesehatan. Juru Bicara Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti menilai bahwa pencopotan Kapolda Metro  Jaya dan Kapolda Jawa Barat harus menjadi pelajaran bagi anggota kepolisian lain dalam melaksanakan protokol kesehatan. Sejak awal pandemi Covid-19, Kapolri telah mengeluarkan Maklumat Kapolri yang menekankan solus popoli suprema lex esto, atau keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi, Oleh karena itu, Poengky menilai, pencopotan kedua Kapolda dilihatnya sebagai sebuah sanksi tegas dari Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis (Halim, 2020). 


Kritik Masyarakat Terhadap Pemerintah 

       Penanganan pandemi Covid-19 oleh pemerintah menimbulkan kritik di masyarakat. Menurut (MS & Rizaldi, 2020), pemerintah Indonesia dianggap lambat dalam menangani pandemi ini.  Presiden baru menandatangani Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Desease 2019 setelah 11 hari mengumumkan kasus pertamanya. Pada 20 Maret 2020, Presiden menerbitkan Kepres Nomor 9 Tahun 2020 yang memberikan kewenangan pada Gubernur untuk mengarahkan dan mengevaluasi penanganan Covid-19 di daerah masing-masing. 

    Belakangan ini terdapat beberapa kegiatan atau aktivitas yang menimbulkan banyak kerumunan massa, salah satunya yaitu penjemputan Pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab pada 10 November 2020 lalu. Habib Rizieq pulang ke Indonesia setelah tiga tahun berada di Arab Saudi. Kepulangannya ini disambut antusias oleh para pendukungnya dengan menunggu di Bandara Soekarno Hatta. Akibatnya, kemacetan dan kerumunan menghiasi kepulangan Habib Rizieq. Masyarakat pun meluapkan emosinya dengan melempar kritik kepada pemerintah. Kritikan tersebut mengatakan bahwa pemerintah seperti melakukan standar ganda dan tebang pilih, 

    Berbagai respons negatif muncul berupa komentar-komentar netizen di akun resmi Presiden Joko Widodo, Gubernur DKI Anies Baswedan, Kepolisian, hingga Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Respon tersebut pun bukan tanpa sebab, melainkan karena terdapat lima kasus kerumunan yang dilakukan kelompok Rizieq di tengah pandemi Covid-19. Kritikan tersebut pecah setelah acara terakhir, yaitu saat pernikahan putri Rizieq, Sharif Najwa Shihab sekaligus menggelar peringatan Maulid Nabi SAW. Karena di rasa protokol kesehatan sulit dilaksanakan, pihak kelurahan memberikan bantuan kepada pihak Rizieq dengan menyediakan sejumlah fasilitas seperti tempat cuci tangan, mobil toilet dan ambulans. Satgas Penanganan Covid-19 pun turun ke lapangan untuk memberi sumbangan masker dan hand sanitizer. Kurang lebih sebanyak 20 ribu masker yang diberikan oleh BNPB, yaitu terdiri dari masker medis dan masker kain (Tribunnewsmaker.com, 2020). 

   Akibat sikap pemerintah dan Satgas tersebut, netizen pun merasa terjadi ketidakadilan, mereka membandingkan sikap tersebut dengan ketegasan petugas kepada masyarakat yang melanggar protokol kesehatan di hari biasanya, terutama pelanggaran tidak mengenakan masker. Netizen mengungkit sanksi yang diberikan kepada para pelanggar masker yaitu kerja sosial seperti menyapu jalanan dan sanksi lain berupa denda. Bahkan tak jarang terjadi adu mulut antara pelanggar dengan petugas saat razia. Selain itu, masyarakat turut membandingkan tindakan yang dilakuakan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Anies melakukan sidak ke salah satu restoran di kawasan Jakarta Selatan untuk mengawasi penerapan protokol kesehatan. Karena restoran tersebut terbukti tidak menjalankan protokol kesehatan, Anies pun menyuruh anak buahnya untuk menutup sementara restoran tersebut dan mengenakan sanksi denda Rp 50 juta. Tak sedikit pula tempat usaha hingga perkantoran di Jakarta yang ditutup sementara oleh Pemprov DKI karena dianggap melanggar protokol kesehatan. Nampaknya, banyak kalangan yang terkena imbas dari dampak penerapan PSBB di tengah pandemi Covid-19 (Tribunnewsmaker.com, 2020). 

 

Analisis dengan Teori Kritis dan Teori Struktural Fungsional 

    Penanganan pandemi Covid-19 menuai banyak kritikan oleh berbagai pihak. Pemerintah selaku pembuat kebijakan memiliki andil besar dalam menangani dahsyatnya pandemi yang terjadi. Namun, kebijakan yang diambil pemerintah serta pelaksanaanya dianggap tidak konsisten karena terus berubahubah. Pemerintah tentu telah mengupayakan yang terbaik dengan mengeluarkan kebijakan yang dianggap mampu menangani pandemi ini. Tapi ternyata, apa yang menjadi tujuan pemerintah tidak sampai kepada masyarakat. 

     Teori kritis Habermas dikenal sebagai teori tindakan komunikasi. (Abrori, 2016) menjelaskan bahwa menurut Habermas sifat dasar manusia adalah berkomunikasi. Dengan berkomunikasi orang akan berbagi ide, pengetahuan, dan informasi. Pun dengan komunikasi orang akan membahas solusi untuk masalahmasalahnya. Rumusan ini dikenal dengan teori tindakan komunikatif Habermas yang ditulis dalam bukunya The Theory of Communicative Action. Komunikasi yang dimaksud Habermas yaitu adanya komunikasi publik. Ruang publik berfungsi untuk menyelesaikan masalah bersama dengan diskusi dan debat yang bebas dari tradisi, dogma atau kekuatan tertentu agar tercapai konsensus yang rasional. Definisi tersebut menunjukkan bahwa prasyarat fungsi ruang publik yaitu terdapat masalah bersama, diskusi, dan konsensus. 

      Banyaknya kasus pelanggaran protokol kesehatan Covid-19 dianggap sebagai kegagalan pemerintah dalam menegakkan kebijakan yang ada. Namun, yang menjadi fokus dalam analisis ini yaitu kacau balaunya komunikasi pemerintah kepada masyarakat terkait kebijakan yang dikeluarkan. Cara komunikasi yang buruk dari pemerintah menyebabkan kebijakan dalam penanganan pandemi tidak efektif. Selain itu perubahan kebijakan secara berkala membuat masyarakat menjadi bingung. Menurut Habermas, untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang objektif, perlu adanya komunikasi publik. Oleh karena itu, perlu adanya komunikasi secara masif antara pemerintah dengan masyarakat. 

    Menurut Talcott Parson, bahwa masyarakat memiliki kelembagaan yang saling terkait dan tergantung satu sama lain. Setiap lembaga dalam masyarakat melaksanakan tugas tertentu untuk stabilitas dan pertumbuhan masyarakat tersebut. Sistem sosial meliputi kebudayaan, sosial, dan kepribadian itu saling tergantung. Semua itu merupakan sumber integrasi, sistem kepribadian untuk memenuhi pencapaian tujuan, sekaligus merupakan sistem kultural untuk mempertahankan pola-pola yang ada dalam sistem itu (Maunah, 2015). Artinya, pemerintah dan masyarakat saling terkait dalam menentukan keberhasilan penanganan Covid-19. Kebijakan yang diterapkan pemerintah tidak akan berjalan jika masih banyak masyarakat yang mengabaikannya. Sebaliknya, masyarakat tidak akan melaksanakan kebijakan jika kebijakan tersebut dirasa tidak mementingkan banyak pihak. Perlunya keselarasan antara pemerintah selaku pembuat kebijakan dan masyarakat selaku pelaksana kebijakan. 

 

Kesimpulan 

    Penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia harus dihadapi dengan serius oleh kita semua. Banyak dari kita menganggap bahwa bertambahnya kasus terkonfirmasi positif setiap harinya disebabkan oleh kesalahan satu atau beberapa pihak. Namun ternyata untuk menentukan suatu kesimpulan yang baik diperlukan komunikasi yang baik. Jurgen Habermas berpandangan bahwa jika terjadi masalah yang menyangkut banyak bersama, maka perlu adanya ruang publik sebagai wadah untuk diskusi mencari solusi. Pandangan individu adalah pandangan yang subjektif dengan klaim kebenaran berada pada dirinya sendiri. Pemerintah selaku pembuat kebijakan mengklaim bahwa serangkaian kebijakan yang selama ini diterapkan adalah solusi terbaik yang dapat diberikan. Namun sayangnya, dalam setiap kebijakan pasti ada kritik yang diberikan masyarakat. Masyarakat menilai bahwa pemerintah tidak konsisten dalam menerpakan kebijakan. Masyarakat membandingkan kebijakan yang diterapkan pemerintah Indonesia dengan kebijakan di negara lain yang dianggap lebih baik. Padahal realitasnya setiap negara pasti memiliki keadaan yang berbeda, sehingga kebijakan yang diterapkan pasti akan berbeda. Di sisi lain, pemerintah mengkritik bahwa aparat keamanan dan Satgas belum bisa bertindak tegas dalam menangani pelanggar protokol kesehatan. Padahal realitas di lapangan tidak semudah itu, banyaknya pelanggar protokol kesehatan membuat mereka kewalahan dalam menertibkannya, terutama kerumunan massa yang jumlahnya mencapai ribuan. Perbedaan pandangan adalah suatu hal yang wajar, karena kita mengkritik berdasarkan apa yang kita lihat dan rasakan. Jika kita merasa bahwa pemerintah tidak konsisten dalam menangani pandemi ini, maka apakah kita sudah melaksanakan protokol kesehatan dengan baik? Pemerintah dan masyarakat adalah suatu kesatuan. Untuk mencapai penanganan yang baik, maka perlunya keselarasan antara pemerintah dengan masyarakat. 

 

Daftar Pustaka 

Journal Article 

Abrori, A. (2016). Refleksi Teori Kritis Jurgen Habermas atas Konsesus Simbolik 

            Perda Syariah. AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah, 16(1), 71–88. 

Batoebara, M. U. (2020). Corona, Government Communications Are Disorder. 

           Jurnal Network Media, 3(1), 88–94. 

Engkus, Suparman, N., Sakti, F. T., & Anwar, H. S. (2019). Covid-19: Kebijakan

              Mitigasi Penyebaran Dan Dampak Sosial Ekonomi Di Indonesia. Journal of 

             Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699. 

Maunah, B. (2016). Pendidikan Dalam Perspektif Struktural Konflik. CENDEKIA: 

              Journal of Education and Teaching, 10(2), 159-178.  

MS, Z. H., & Rizaldi, A. (2020). Merespon Nalar Kebijakan Negara Dalam

        Menangani Pandemi Covid 19 Di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan

        Publik Indonesia,  7(1), 36–53. 

Tuwu, D. (2020). Kebijakan Pemerintah Dalam Penanganan Pandemi Covid-19. 

           Journal Publicuho, 3(2), 267-278. 

Wicaksana, I. G. W. (2020). The Problem of Indonesia ’ s Health Diplomacy in the

          Age of Pandemic Masalah Diplomasi Kesehatan Indonesia di Era Pandemi. 275–288. 

Wiranti, Sriatmi, A., & Kusumastuti, W. (2020). Determinan kepatuhan masyarakat

          Kota Depok terhadap kebijakan pembatasan sosial berskala besar dalam 

          pencegahan COVID-19. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, 09(03), 117–124. 


 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inisiatif membangun kekuatan intelektual, Departemen Pendidikan dan Penalaran (PILAR) HMJ Sosiologi FISIP UIN Walisongo Semarang mengadakan kelas penelitian di Desa Merbuh, Kecamatan SIngorojo, Kabupaten Kendal

HMJ Sosiologi mengadakan acara Pekan Ceria yang dilaksanakan di Kelurahan Bandarharjo, Kota Semarang

HMJ Sosiologi menggelar acara eLSiS dengan tema "Analisis Kebijakan Pemerintah Terhadap Pengendalian Harga Kebutuhan Pokonya"