Inkonsistensi Pemerintah Dalam Penanganan Pandemi Covid-19
Inkonsistensi Pemerintah Dalam Penanganan Pandemi Covid-19
( Kajian Teori Strural Fungsional)
Hanif Dwi Kurniawan
Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu politik (FISIP)
Universitas Islam Negri Walisongo, Semarang-Indonesia
Menurut (MS & Rizaldi, 2020) kondisi ini tentu sangat berbahaya dan membutuhkan penanganan yang serius. Wabah Covid-19 di Indonesia sudah menunjukkan titik kritis yang berpengaruh terhadap aspek multidimensional di bidang berbagai bidang, yakni sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Ketidakseriusan pemerintah dalam penanganan Covid-19 sama artinya dengan tindakan menghancurkan bangsa sendiri. Bagaimana tidak, prevalensi penyebaran Covid-19 telah menyentuh seluruh lapisan masyarakat, mulai dari kalangan remaja hingga kalangan tua. Jika hal ini dibiarkan, bukan tidak mungkin Indonesia akan merugi secara materil maupun non materil.
Covid-19 telah memunculkan serangkaian
kebijakan publik yang diadopsi oleh pemerintah dengan berbagai desain dan
konten kebijakan yang beragam. Saat awal pandemi, sebagian besar negara
menerapkan kebijakan lock down, yaitu menutup atau membatasi perbatasan mereka
dan membatasi perjalanan di dalam perbatasan (social distancing). Sepertiga
dari populasi dunia telah mengalami beberapa pembatasan sosial, mulai dari
penutupan sekolah hingga anjuran untuk tetap di rumah saja. Namun, kebijakan
ini tidak serta-merta diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Adopsi kebijakan
pemerintah Indonesia terkesan mengutamakan aspek ekonomi daripada fokus
penanganan penyakit yang mengancam keselamatan warga negara. Pada akhirnya,
kebijakan ini berdampak besar pada ancaman serius keselamatan warga negara dan
ancaman nyata pada konstraksi pelemahan perokonomian nasional (Engkus et al.,
2019).
Kebijakan yang baik saja tidak cukup untuk
menangani pandemi Covid-19 di negeri ini. Dibutuhkan pula komitmen dari
masyarakat untuk mematuhi segara aturan dan kebijakan yang telah dikeluarkan
pemerintah. Kepatuhan masyarakat hanya akan muncul jika masyarakat memiliki
sistem kepercayaan yang sama dengan pemerintah (MS & Rizaldi, 2020). Untuk
itu, Kapolri Jenderal Idham Azis mengeluarkan surat telegram yang berisi
tentang penegakan protokol kesehatan Covid-19. Surat telegram bernomor
ST/3220/XI/KES.7/2020 tersebut ditandatangani oleh Kabareskrim Komjen Listyo
Sigit Prabowo pada tanggal 16 November 2020. Salah satu isi surat telegram tersebut
ialah perintah kepada jajaran kepolisian untuk menegakkan hukum tanpa pandang
bulu terhadap para pelanggar protokol kesehatan, yang mengganggu keamanan dan
ketertiban masyarakat (Halim, 2020).
Banyaknya pelanggaran protokol
kesehatan Covid-19 di Indonesia dapat dilihat dari jumlah denda yang terkumpul.
Berdasarkan laporan Liputan6.com pada 6 Oktober 2020 bahwa Karo Penmas Divisi
Humas Polri Brigjen Awi Setiyono, memberitahukan bahwa pihaknya telah mencatat
jumlah sanksi administrasi pelanggar protokol kesehatan pencegahan penyebaran
Covid-19 sebanyak 43 ribu kali senilai Rp 2,6 miliar. Jumlah tersebut merupakan
akumulasi penegakan aturan protokol kesehatan Covid-19 di seluruh Indonesia
melalui giat Operasi Yustisi 2020. Tak hanya itu, petugas juga menemukan
sejumlah pelaku usaha yang melakukan pelanggaran disiplin protokol kesehatan
Covid-19, sehingga dilakukan penertiban hingga penutupan sementara (Putra,
2020).
Pelanggaran protokol kesehatan Covid-19
banyak menuai kritik oleh berbagai pihak di masyarakat. Kritikan tersebut
muncul karena rasa kecewa kepada para pelanggar protokol kesehatan yang terus
bertambah. Menurut sumber (BBC News, 2020) sejumlah pakar epidemologi di
Indonesia khawatir dengan longgarnya penerapan protokol kesehatan serta
lemahnya pengawasan terhadap lokasi-lokasi tertentu yang menimbulkan kerumunan
akan menyebabkan jumlah kasus positif Covid-19 melonjak tinggi dan imbasnya
puncak Covid-19 di Indonesia semakin sulit diprediksi.
Dalam mengkritik pun kita harus berhati-hati. Kritikan yang
dianggap menghina presiden dan pejabat lainnya akan dikenakan sanksi yang
diatur dalam pasal-pasal UU ITE dan KUHP. Namun menurut Direktur Eksekutif
Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR), Erasmus A. T. Napitupulu, ia
menilai bahwa polisi memanfaatkan pandemi Covid-19 untuk membungkam kebebasan
berpendapat. Bahkan menurutnya, pandemi Covid-19 dijadikan sebagai momen untuk
membungkam kebebasan berpendapat warga negara secara eksesif melalui penjeratan
pasal-pasal UU ITE dan KUHP oleh aparat penegak hukum (Halim, 2020).
Tujuan penelitian ini yaitu untuk melihat
bagaimana pemerintah selaku pembuat kebijakan dalam menangani pandemi Covid-19.
Penulis melihat bahwa kebijakan yang diambil pemerintah menimbulkan pro dan
kontra di masyarakat. Untuk itu, penulis juga akan melihat sudut pandang
masyarakat terkait serangkaian kebijakan yang selama ini telah diambil
pemerintah beserta dampak-dampaknya.
Hasil penelitian (MS & Rizaldi, 2020)
menunjukkan bahwa kebijakan yang diambil pemerintah menunjukkan penalaran
rasional. Penalaran rasional terhadap keadaan darurat kesehatan ini dapat
diterima secara rasional oleh masyarakat. Namun, ada respons yang berbeda oleh
beberapa orang, terutama kelas menengah ke bawah. Hal ini disebabkan oleh
kerentanan sosial yang disebabkan oleh keterbatasan sumber daya sehingga
"terpaksa" menerobos penalaran rasionalitas negara dalam kebijakan
penanganan pandemi koepidemik19 di Indonesia. Solusinya adalah kemampuan negara
untuk menjamin keamanan ekonomi setiap keluarga. Sehingga rasionalitas negara
dan masyarakat akan sama dalam menghadapi pandemi Covid 19.
Sedangkan hasil penelitian (Engkus et al., 2019)
menunjukkan bahwa kebijakan yang tidak menempatkan kesungguhan pada fokus
masalah dan tidak terukur dalam konteks penanganan wabah Covid-19, maka
pemerintah tidak akan dapat meminimalkan kematian akibat Covid-19 dan dampak
sosial ekonomi dari penyebaran virus akan sangat dalam dan serius. Selain itu,
menurut penelitian yang dilakukan (Batoebara, 2020) menunjukkan bahwa
komunikasi pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19 sangat buruk, sehingga
menimbulkan kebingungan di masyarakat. Cara komunikasi yang buruk dari
pemerintah menyebabkan kebijakan dalam penanganan Covid-19 tidak efektif. Untuk
itu, diperlukan komunikasi yang baik dalam pelaksanaan kebijakan yang berlaku
oleh pemerintah.
Teori tindakan komunikatif Habermas memiliki
gagasan utama, yaitu bahwa komunikasi membuka jalan untuk saling memahami
antaraktor sehingga tercapainya konsensus atau kesepakatan bersama. Jalan untuk
mencapai konsensus tersebut yaitu dengan cara para aktor mau berdialog. Para
aktor bisa saling mengajukan gagasan yang menurutnya benar (Habermas
mengistilahkan dengan klaim kebenaran) dengan argumentasi, maupun bukti-bukti.
Untuk itu, mereka harus terbuka untuk dikritik dan harus bisa menerima
kebenaran yang berasal dari lawan bicara. Maka, klaim-klaim kebenaran subjektif
dari masing-masing aktor akan mencapai titik temu dan melahirkan kebenaran
inter-subjektif, yaitu kesepakatan, konsensus atau kesepahaman bersama. Namun,
untuk mencapai konsensus tentang klaim kebenaran tersebut terdapat 4 syarat
yang harus dipenuhi, yaitu bahwa kebenaran itu harus dapat dipahami, bersifat
objektif, sesuai dengan norma setempat, dan berasal dari pengalaman dan
kejujuran si aktor (Abrori, 2016).
Selain itu, penelitian ini juga menggunakan teori
struktural fungsional sebagai landasannya. Struktural fungsional menekankan
teorinya pada keteraturan. Teori ini memandang masyarakat sebagai suatu sistem
sosial yang terdiri dari bagian-bagian yang terkait dan menyatu dalam
keseimbangan. Teori ini mengasumsikan bahwa setiap struktur maupun tatanan
dalam sistem sosial akan berfungsi pula pada yang lain, sehingga bila tidak ada
fungsional, maka stuktur ini tidak akan hilang dengan sendirinya. Stuktur dan
tatanan merupakan fungsional bagi masyarakat tertentu. Teori ini cenderung
memusatkan kajianya pada fungsi dari suatu fakta sosial terhadap fakta sosial
lain (Maunah, 2015).
Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini
yaitu studi literatur. Data yang diperoleh merupakan jenis data sekunder berupa
jurnal/artikel dan berita digital dari berbagai media. Data tersebut dirubah ke
dalam bentuk narasi dan dianalisis menggunakan teori di atas yang kemudian
diberikan pemaknaan melalui proses intrepretasi data.
Kebijakan Pemerintah dalam Menangani Pandemi
Covid-19
Pemerintah telah berupaya mencegah dan menangani
terjadinya penyebaran serta penularan virus Corona ke dalam masyarakat dengan membuat
serangkain kebijakan. Kebijakan tersebut ada yang bentuknya tertulis maupun
tidak tertulis. Bentuk dari kebijakan tertulis misalnya seperti Undang-Undang
(UU), Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU), Peraturan
Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (PERPRES), Peraturan Menteri (PERMEN),
Peraturan Daerah (PERDA), Peraturan Bupati (PERBUP), Peraturan Walikota
(PERWALI), dan lainlain termasuk di dalamnya adalah Surat Keputusan (SK), dan
Surat yang berasal dari pemerintah. Sedangkan bentuk dari kebijakan yang tidak
tertulis adalah ajakan tidak tertulis yang berasal dari pemerintah, tokoh
masyarakat, tokoh adat, tokoh budaya, tokoh agama, yang berisi larangan dan
himbauan terkait dengan pencegahan dan penanganan Covid-19 (Tuwu, 2020).
Salah satu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah
yaitu kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan ini dimuat
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 dan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka
Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019. Kebijakan ini dibentuk untuk
mengurangi peningkatan dan penyebaran Covid-19 di wilayah tertentu. Menurut
peraturan tersebut, pelaksanaan PSBB mengatur beberapa aktivitas masyarakat
seperti beralihnya pelaksanaan sekolah dan kerja menjadi via daring, pembatasan
moda transportasi, penundaan kegiatan sosial dan budaya, pembatasan kegiatan di
tempat atau fasilitas umum, dan pembatasan kegiatan keagamaan serta pembatasan
kegiatan lainnya (Wiranti, Sriatmi, dan Kusumastuti, 2020).
Pandemi yang telah berlangsung hampir setahun ini
memberikan banyak dampak dalam berbagai bidang. KOMPAS.com melaporkan bahwa
pembatasan aktivitas masyarakat berpengaruh pada aktivitas bisnis yang kemudian
berimbas pada perekonomian. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada
bulan Agustus menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020
minus 5,32 persen. Sebelumnya, Badan Pusat Statistik juga melaporkan bahwa
pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 2,97 persen pada kuartal I
2020. Angka tersebut turun jauh dari pertumbuhan sebesar 5,02 persen pada
periode yang sama 2019 lalu (Rizal, 2020).
Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya terbaik
dalam mengurangi dampak dari pandemi corona ini, segala upaya telah dilakukan
termasuk kebijakan PSBB yang membatasi aktivitas masyarakat. Namun, kebijakan
tersebut tentu sangat bertentangan dengan kebiasaan masyarakat saat sebelum
adanya pandemi Covid-19 (Tuwu, 2020). Ditambah, sepertinya kebijakan tersebut
tidak bisa terus dilakukan, karena mengingat roda perekonomian harus tetap
berjalan dan masyarakat harus memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mencari
nafkah, Begitu juga dengan pemerintah yang tidak bisa selamanya memberikan
bantuan sosial kepada masyarakat yang terdampak pandemi ini. Tak bisa disangkal
bahwa negara memperoleh pemasukan kas terbesar dari pajak. Namun, di situasi
saat ini bagaimana caranya masyarakat, perusahaan, dan toko-toko membayar pajak
sedangkan mereka tidak bisa menjalankan aktivitas. Tentunya pemerintah juga
tidak bisa mengurusi rakyatnya jika tidak ada pemasukan kas negara.
Kondisi ini merupakan dilema yang harus dihadapi oleh pemerintah saat ini
(Pratama, 2020).
Pemerintah pun mengeluarkan kebijakan baru
yang disebut new normal. New normal merupakan istilah yang biasa digunakan
ketika memasuki kondisi dan kebiasaan baru setelah lepas atau bahkan tidak bisa
lepas dari suatu wabah. Disebut juga sebagai kondisi dimana kita harus bisa
beradaptasi dengan kebiasaan dan perilaku baru dalam membatasi diri untuk
mencegah dari terjangkitnya virus. Isi dari kebijakan ini yaitu membuka kembali
aktifitas ekonomi sosial dan kegiatan publik secara terbatas dengan menggunakan
standar kesehatan yang sebelumnya tidak ada sebelum pandemi. Namun kebijakan
memerlukan sinergitas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk tetap
memastikan pelayanan kesehatan masyarakat, tersedianya sarana dan prasarana
perawatan, peralatan medis, dan melindungi mereka yang rentan melalui penyiapan
jaringan pengamanan sosial yang tepat sasaran dan perlindungan sosial (Pratama,
2020).
Selain itu, untuk pemerintah juga melaksanakan
program Jaring Pengaman Sosial untuk penanganan dampak Covid-19 dengan
menyiapkan anggaran 110 Triliun rupiah. Program tersebut terdiri dari Program
Keluarga Harapan (PKH), program sembako, kartu prakerja, subsidi listrik,
insentif perumahan, sembako Jabodetabek, bansos tunai non-Jabodetabek, dan
Program Jaring Pengaman Sosial lainnya. Sayangnya, pengelolaan data yang buruk selama
bertahun-tahun membuat program yang diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo
menjadi compang-camping di lapangan. Fakta di lapangan telah mengamini bahwa
buruknya data pemerintah telah menyebabkan kegaduhan di kalangan masyarakat,
tidak hanya terjadi di tingkat pusat tetapi juga ditingkat daerah. Berdasarkan
laporan Koran TEMPO tahun 2020, bahwa Program Jaring Pengaman Sosial yang
ditujukan untuk mengurangi dampak Covid-19 acak-acakan, tumpang tindih, dan
salah sasaran akibat data amburadul (Tuwu, 2020).
Pada hakikatnya, kebijakan merupakan media bagi
pemerintah dan masyarakat untuk berinteraksi dan menyatukan pengetahuan.
Kebijakan harus bisa mengakomodir kepentingan berbagai pihak sehingga mampu
menjamin terpenuhinya kebutuhan. Proses pengelolaan kebijakan merupakan
interaksi yang berlangsung antara negara dan masyarakat (MS & Rizaldi,
2020). Jika kebijakan tidak dapat memenuhi kepentingan berbagai pihak, maka
perlu adanya evaluasi. Evaluasi tersebut dapat dilakukan dengan cara mendengar
dan melihat realitas di lapangan, seperti keluhan, kritik, dan argumen yang
disampaikan oleh masyarakat.
Ketegasan Aparat Keamanan dalam Menegakkan
Peraturan
Sumber berita (CNN Indonesia, 2020) melaporkan bahwa
Presiden Joko Widodo memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri mengawasi warga
agar meningkatkan disiplin dalam penerapan protokol kesehatan di tengah pandemi
virus corona. Perintah presiden tersebut tertuang dalam Instruksi Presiden
Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol
Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19. Juru Bicara Presiden
Bidang Sosial Angkie Yudistia mengatakan selain memerintahkan Panglima TNI dan
Kapolri, presiden juga menginstruksikan sejumlah menteri dan kepala lembaga
lainnya, maupun kepala daerah untuk turut mengawasi penerapan protokol
kesehatan. Instruksi tersebut sudah ditekankan Presiden Jokowi pada 4 Agustus
2020. Tak hanya itu, instruksi tersebut juga mengatur terkait sanksi bagi
para pelanggar protokol kesehatan, Angkie mengatakan dalam Inpres
tersebut, bahwa presiden memberikan instruksi agar kepala daerah menyusun
petunjuk pelaksanaan dalam bentuk peraturan gubernur/bupati/wali kota. Namun,
peraturan yang dibuat kepala daerah tetap harus memperhatikan prinsip-prinsip
hak asasi manusia dan memperhatikan dengan betul bahwa pengawasan dilakukan
dalam koridor penegakan disiplin, penegakan hukum, dan ketertiban masyarakat.
Namun dalam realitas lapangan, penindakan
terhadap kerumunan massa yang mengabaikan protokol kesehatan pencegahan Covid-19
dinilai terhambat oleh inkonsistensi kebijakan pemerintah. Kemauan politik
dalam penanganan pandemi pun dipertanyakan. Beberapa waktu terakhir, kerumunan
massa mewarnai penanganan pandemi virus Covid-19 di Indonesia. Di antaranya,
yaitu acara Maulid Nabi Muhammad dan pernikahan putri pemimpin Front Pembela
Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab serta kegiatan lain yang dihadirinya, hingga
pendaftaran bakal calon kepala daerah dan pengambilan nomor urut paslon di
Pilkada 2020 (Anugrah, 2020). Kegiatan tersebut menimbulkan kerumunan massa
yang tak terhitung jumlahnya. Akibatnya dapat menimbulkan cluster baru
penyebaran Covid-19.
Dikutip dari rilis Sekretariat Presiden pada 16
November 2020 dalam rapat terbatas penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional,
Presiden Joko Widodo menyorot kinerja penegak hukum soal ketegasan bagi
pelanggar protokol kesehatan. Jokowi mengingatkan pengorbanan dan perjuangan
para tenaga kesehatan yang menangani pandemi Covid-19 di garda terdepan.
Menurutnya, jangan sampai perjuangan para dokter, perawat, tenaga medis, dan
paramedis selama ini menjadi sia-sia karena pemerintah tidak bertindak tegas,
Bahkan sebelum Presiden Jokowi, Menko Polhulkam Mahfud MD juga turut
menyampaikan bahwa pemerintah akan memberi sanksi kepada aparat yang tak tegas
menegakkan protokol kesehatan. Saat menyampaikan pesan pemerintah ini, Mahfud
memberi penekanan kepada aparat keamanan (Alfons, 2020).
Kapolda Metro Jaya Irjen Nana Sudjana dan
Kapolda Jawa Barat Irjen Rudy Sufahriadi dicopot dari jabatannya oleh Kapolri
Jenderal (Pol) Idham Aziz akibat dinilai lalai dalam menegakkan protokol
kesehatan. Juru Bicara Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti
menilai bahwa pencopotan Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Jawa Barat
harus menjadi pelajaran bagi anggota kepolisian lain dalam melaksanakan
protokol kesehatan. Sejak awal pandemi Covid-19, Kapolri telah mengeluarkan
Maklumat Kapolri yang menekankan solus popoli suprema lex esto, atau
keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi, Oleh karena itu, Poengky
menilai, pencopotan kedua Kapolda dilihatnya sebagai sebuah sanksi tegas dari
Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis (Halim, 2020).
Kritik Masyarakat Terhadap Pemerintah
Penanganan pandemi Covid-19 oleh
pemerintah menimbulkan kritik di masyarakat. Menurut (MS & Rizaldi, 2020),
pemerintah Indonesia dianggap lambat dalam menangani pandemi ini.
Presiden baru menandatangani Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Desease 2019 setelah 11 hari
mengumumkan kasus pertamanya. Pada 20 Maret 2020, Presiden menerbitkan Kepres
Nomor 9 Tahun 2020 yang memberikan kewenangan pada Gubernur untuk mengarahkan
dan mengevaluasi penanganan Covid-19 di daerah masing-masing.
Belakangan ini terdapat beberapa kegiatan atau
aktivitas yang menimbulkan banyak kerumunan massa, salah satunya yaitu
penjemputan Pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab pada 10
November 2020 lalu. Habib Rizieq pulang ke Indonesia setelah tiga tahun berada
di Arab Saudi. Kepulangannya ini disambut antusias oleh para pendukungnya
dengan menunggu di Bandara Soekarno Hatta. Akibatnya, kemacetan dan kerumunan
menghiasi kepulangan Habib Rizieq. Masyarakat pun meluapkan emosinya dengan
melempar kritik kepada pemerintah. Kritikan tersebut mengatakan bahwa
pemerintah seperti melakukan standar ganda dan tebang pilih,
Berbagai respons negatif muncul berupa
komentar-komentar netizen di akun resmi Presiden Joko Widodo, Gubernur DKI
Anies Baswedan, Kepolisian, hingga Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB). Respon tersebut pun bukan tanpa sebab, melainkan karena terdapat lima
kasus kerumunan yang dilakukan kelompok Rizieq di tengah pandemi Covid-19.
Kritikan tersebut pecah setelah acara terakhir, yaitu saat pernikahan putri
Rizieq, Sharif Najwa Shihab sekaligus menggelar peringatan Maulid Nabi SAW.
Karena di rasa protokol kesehatan sulit dilaksanakan, pihak kelurahan memberikan
bantuan kepada pihak Rizieq dengan menyediakan sejumlah fasilitas seperti
tempat cuci tangan, mobil toilet dan ambulans. Satgas Penanganan Covid-19 pun
turun ke lapangan untuk memberi sumbangan masker dan hand sanitizer. Kurang
lebih sebanyak 20 ribu masker yang diberikan oleh BNPB, yaitu terdiri dari
masker medis dan masker kain (Tribunnewsmaker.com, 2020).
Akibat sikap pemerintah dan Satgas tersebut, netizen
pun merasa terjadi ketidakadilan, mereka membandingkan sikap tersebut dengan
ketegasan petugas kepada masyarakat yang melanggar protokol kesehatan di hari
biasanya, terutama pelanggaran tidak mengenakan masker. Netizen mengungkit
sanksi yang diberikan kepada para pelanggar masker yaitu kerja sosial seperti
menyapu jalanan dan sanksi lain berupa denda. Bahkan tak jarang terjadi adu
mulut antara pelanggar dengan petugas saat razia. Selain itu, masyarakat turut
membandingkan tindakan yang dilakuakan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies
Baswedan. Anies melakukan sidak ke salah satu restoran di kawasan Jakarta
Selatan untuk mengawasi penerapan protokol kesehatan. Karena restoran tersebut
terbukti tidak menjalankan protokol kesehatan, Anies pun menyuruh anak buahnya
untuk menutup sementara restoran tersebut dan mengenakan sanksi denda Rp 50
juta. Tak sedikit pula tempat usaha hingga perkantoran di Jakarta yang ditutup
sementara oleh Pemprov DKI karena dianggap melanggar protokol kesehatan.
Nampaknya, banyak kalangan yang terkena imbas dari dampak penerapan PSBB di
tengah pandemi Covid-19 (Tribunnewsmaker.com, 2020).
Analisis dengan Teori Kritis dan Teori
Struktural Fungsional
Penanganan pandemi Covid-19 menuai banyak kritikan
oleh berbagai pihak. Pemerintah selaku pembuat kebijakan memiliki andil besar
dalam menangani dahsyatnya pandemi yang terjadi. Namun, kebijakan yang diambil
pemerintah serta pelaksanaanya dianggap tidak konsisten karena terus
berubahubah. Pemerintah tentu telah mengupayakan yang terbaik dengan
mengeluarkan kebijakan yang dianggap mampu menangani pandemi ini. Tapi
ternyata, apa yang menjadi tujuan pemerintah tidak sampai kepada
masyarakat.
Teori kritis Habermas dikenal sebagai teori
tindakan komunikasi. (Abrori, 2016) menjelaskan bahwa menurut Habermas sifat
dasar manusia adalah berkomunikasi. Dengan berkomunikasi orang akan berbagi
ide, pengetahuan, dan informasi. Pun dengan komunikasi orang akan membahas
solusi untuk masalahmasalahnya. Rumusan ini dikenal dengan teori tindakan
komunikatif Habermas yang ditulis dalam bukunya The Theory of Communicative
Action. Komunikasi yang dimaksud Habermas yaitu adanya komunikasi publik. Ruang
publik berfungsi untuk menyelesaikan masalah bersama dengan diskusi dan debat
yang bebas dari tradisi, dogma atau kekuatan tertentu agar tercapai konsensus
yang rasional. Definisi tersebut menunjukkan bahwa prasyarat fungsi ruang
publik yaitu terdapat masalah bersama, diskusi, dan konsensus.
Banyaknya kasus pelanggaran protokol
kesehatan Covid-19 dianggap sebagai kegagalan pemerintah dalam menegakkan
kebijakan yang ada. Namun, yang menjadi fokus dalam analisis ini yaitu kacau
balaunya komunikasi pemerintah kepada masyarakat terkait kebijakan yang
dikeluarkan. Cara komunikasi yang buruk dari pemerintah menyebabkan kebijakan
dalam penanganan pandemi tidak efektif. Selain itu perubahan kebijakan secara
berkala membuat masyarakat menjadi bingung. Menurut Habermas, untuk mendapatkan
suatu kesimpulan yang objektif, perlu adanya komunikasi publik. Oleh karena
itu, perlu adanya komunikasi secara masif antara pemerintah dengan
masyarakat.
Menurut Talcott Parson, bahwa masyarakat memiliki
kelembagaan yang saling terkait dan tergantung satu sama lain. Setiap lembaga
dalam masyarakat melaksanakan tugas tertentu untuk stabilitas dan pertumbuhan
masyarakat tersebut. Sistem sosial meliputi kebudayaan, sosial, dan kepribadian
itu saling tergantung. Semua itu merupakan sumber integrasi, sistem kepribadian
untuk memenuhi pencapaian tujuan, sekaligus merupakan sistem kultural untuk
mempertahankan pola-pola yang ada dalam sistem itu (Maunah, 2015). Artinya, pemerintah
dan masyarakat saling terkait dalam menentukan keberhasilan penanganan
Covid-19. Kebijakan yang diterapkan pemerintah tidak akan berjalan jika masih
banyak masyarakat yang mengabaikannya. Sebaliknya, masyarakat tidak akan
melaksanakan kebijakan jika kebijakan tersebut dirasa tidak mementingkan banyak
pihak. Perlunya keselarasan antara pemerintah selaku pembuat kebijakan dan
masyarakat selaku pelaksana kebijakan.
Kesimpulan
Penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia harus
dihadapi dengan serius oleh kita semua. Banyak dari kita menganggap bahwa
bertambahnya kasus terkonfirmasi positif setiap harinya disebabkan oleh
kesalahan satu atau beberapa pihak. Namun ternyata untuk menentukan suatu
kesimpulan yang baik diperlukan komunikasi yang baik. Jurgen Habermas
berpandangan bahwa jika terjadi masalah yang menyangkut banyak bersama, maka
perlu adanya ruang publik sebagai wadah untuk diskusi mencari solusi. Pandangan
individu adalah pandangan yang subjektif dengan klaim kebenaran berada pada
dirinya sendiri. Pemerintah selaku pembuat kebijakan mengklaim bahwa
serangkaian kebijakan yang selama ini diterapkan adalah solusi terbaik yang
dapat diberikan. Namun sayangnya, dalam setiap kebijakan pasti ada kritik yang
diberikan masyarakat. Masyarakat menilai bahwa pemerintah tidak konsisten dalam
menerpakan kebijakan. Masyarakat membandingkan kebijakan yang diterapkan
pemerintah Indonesia dengan kebijakan di negara lain yang dianggap lebih baik.
Padahal realitasnya setiap negara pasti memiliki keadaan yang berbeda, sehingga
kebijakan yang diterapkan pasti akan berbeda. Di sisi lain, pemerintah
mengkritik bahwa aparat keamanan dan Satgas belum bisa bertindak tegas dalam
menangani pelanggar protokol kesehatan. Padahal realitas di lapangan tidak
semudah itu, banyaknya pelanggar protokol kesehatan membuat mereka kewalahan
dalam menertibkannya, terutama kerumunan massa yang jumlahnya mencapai ribuan.
Perbedaan pandangan adalah suatu hal yang wajar, karena kita mengkritik
berdasarkan apa yang kita lihat dan rasakan. Jika kita merasa bahwa pemerintah
tidak konsisten dalam menangani pandemi ini, maka apakah kita sudah
melaksanakan protokol kesehatan dengan baik? Pemerintah dan masyarakat adalah
suatu kesatuan. Untuk mencapai penanganan yang baik, maka perlunya keselarasan antara
pemerintah dengan masyarakat.
Daftar Pustaka
Journal Article
Abrori, A. (2016). Refleksi Teori Kritis Jurgen Habermas atas Konsesus Simbolik
Perda Syariah. AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah, 16(1), 71–88.
Batoebara, M. U. (2020). Corona, Government Communications Are Disorder.
Jurnal Network Media, 3(1), 88–94.
Engkus, Suparman, N., Sakti, F. T., & Anwar, H. S. (2019). Covid-19: Kebijakan
Mitigasi Penyebaran Dan Dampak Sosial Ekonomi Di Indonesia. Journal of
Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.
Maunah, B. (2016). Pendidikan Dalam Perspektif Struktural Konflik. CENDEKIA:
Journal of Education and Teaching, 10(2), 159-178.
MS, Z. H., & Rizaldi, A. (2020). Merespon Nalar Kebijakan Negara Dalam
Menangani Pandemi Covid 19 Di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan
Publik Indonesia, 7(1), 36–53.
Tuwu, D. (2020). Kebijakan Pemerintah Dalam Penanganan Pandemi Covid-19.
Journal Publicuho, 3(2), 267-278.
Wicaksana, I. G. W. (2020). The Problem of Indonesia ’ s Health Diplomacy in the
Age of Pandemic Masalah Diplomasi Kesehatan Indonesia di Era Pandemi. 275–288.
Wiranti, Sriatmi, A., & Kusumastuti, W. (2020). Determinan kepatuhan masyarakat
Kota Depok terhadap kebijakan pembatasan sosial berskala besar dalam
pencegahan COVID-19. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, 09(03), 117–124.
Komentar
Posting Komentar