PRO KONTRA PENERAPAN SISTEM ZONASI PENDIDIKAN DI INDONESIA

 PRO KONTRA PENERAPAN SISTEM ZONASI PENDIDIKAN DI INDONESIA

Khoirul Nurhidayat

Program Studi Sosiologi  

Universitas Islam Negeri Wali Songo

Gambar 1.0: Sumber (wawasan.co)

Abstrak

    Tujuan dalam penelitian ini adalah pengaturan tentang sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru berdasarkan Permendikbud RI Nomor 20 Tahun 2019 beserta implikasinya. Metode penelitian yang dipergunakan diantaranya adalah tipe penelitian yuridis normatif, dengan pendekatan perundang – undangan dan pendekatan konsep, spesifikasi penelitan diskriptif analitis, pengumpulan data dengan studi kepustakaan, dan analis data kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengaturan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru yang diatur berdasarkan Permendikbud RI No. 20 Tahun 2019, bertentangan dengan peraturan diatasnya yaitu PP RI No. 13 Tahun 2015 yang menetapkan bahwa hasil ujian nasional digunakan sebagai dasar untuk pertimbangan seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, yang mana peraturan pemerintah ini merupakan penjabaran dari UU RI No. 20 Tahun, sehingga berdasarkan Stufenbautheory dari Hans Kelsen yang diterjemahkan di Indonesia melalui UU RI No. 12 Tahun 2011 maka Permendikbud RI No. 20 Tahun 2019 harus dicabut, atau perlu dikaji ulang dan disesuaikan dengan peraturan diatasnya agar tercipta harmonisasi peraturan perundang undangan. 

 Kata Kunci : Pendidikan, Pro dan kontra sitem zonasi,


A. PENDAHULUAN 

    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Kemudian juga di jelaskan jalur pendidikan yang dapat di tempuh yakni jalur pendidikan formal, informal dan non-formal. Ki Hajar Dewantara (1987:2) Pendidikan adalah segala daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. 

    Berkembangnya suatu negara tentu didukung dengan sumber daya manusia yang memadai. Selanjutnya sumber daya manusia yang memadai ini, tentu tidak terlepas dari berkembangnya bidang pendidikan. Untuk itu pemerintah memberikan jaminan pendidikan kepada setiap warga negaranya, agar nantinya negara mampu bersaing dengan negara-negara lain. Jaminan pendidikan ini, di Indonesia dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tepatnya pada Pasal 28C ayat (1) yaitu “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya, demi meni ngkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Selanjutnya dijamin juga Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 yaitu “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, lebih lanjut dalam ayat (2) disebutkan bahwa “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan wajib membiayainya”.1Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan hak dasar yang dimiliki oleh setiap warga negara, dan merupakan suatu kewajiban bagi pemerintah untuk mengupayakannya. 
        Selanjutnya berdasarkan Pasal 1 Angka 1, Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dijelaskan bahwa: 

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara” 

        Selanjutnya, dalam bidang pendidikan, unsur yang paling penting yang harus ada didalamnya adalah Pendidik, Peserta Didik, serta sarana dan prasarana. Dari ketiga unsur tersebut yang sangat penting yang wajib adalah peserta didik. Tanpa ada peserta didik, maka tidak akan terjadi proses belajar mengajar. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.5Bagi anggota masyarakat yang ingin mengembangkan potensi dirinyamelalui jenjang pendidikan, maka mereka harus melalui proses pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru terlebih dahulu.Peserta didik dapat dipahami sebagaianggota masyarakat yang berusahamengembangkan potensi diri melaluiproses pembelajaran, orang yangmengharapkan mendapat pelayananpendidikan sesuai dengan bakat minat dankemampuannya agar tumbuh danberkembang dengan baik serta mempunyaikekuasaan dalam menerima pelajaran.Peserta didik mempunyai sebutan yangberbeda-beda dalam berbagai jenjang, padataman kanak-kanak disebut anak didik,pada jenjang pendidikan dasar danmenengah disebut dengan peserta didik, dan pada jenjang pendidikan tinggi disebut maha peserta didik. 

        Peraturan PPDB pusat diatas kemudian diturunkan ke pemerintah daerah untuk merancang PPDB berdasarkan tujuannya masing-masing, karena upaya pemerataan pendidikan dapat dilakukan dengan berbagai cara sesuai dengan daerah dan potensi yang dimiliki masingmasing, namun kebijakan tersebut tetap harus berlandaskan: pertama, menyediakan sistem yang mengurangi segregasi di sekolah yang mencakup kondisi sosio ekonomi, capaian pembelajaran dan kelompok minoritas. Kedua, menyediakan sistem yang memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk peserta didik diterima disekolah pilihannya. Ketiga, mendesain sistem penerimaan yang efektif dalam meningkatkan pembelajaran peserta didik terlepas dari pilihan peserta didik tersebut. 

        Permasalahan terhadap penerapan sistem zonasi tidak dapat dipungkiri, diantaranya: priotitas jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan sekolah sebagai penentu utama PPDB sulit diterapkan, karena jumlah lulusan sekolah dengan ketersediaan sekolah untuk semua daerah belum seimbang. Akibatnya, beberapa sekolah yang awalnya mendapat murid banyak menjadi terbatas dan sekolah yang awalnya kekurangan calon peserta didik menjadi kelebihan calon siswa karena berada di zona padat, sehingga mereka yang berada pada radius yang lebih jauh akan kalah dengan calon siswa yang memiliki radius lebih dekat, selain itu hal ini juga berhubungan dengan jumlah kelas dan guru, sekolah yang terbiasa meneriman calon murid dengan kapasitas besar akan kesulitan dalam mengatur jam guru sehingga akan terjadi pemutusan kontrak guru honorer ataupun jadwal pemenuhan di sekolah lain untuk PNS. Lain lagi dengan sekolah yang biasanya menerima calon siswa dengan jumlah sedikit menjadi lebih banyak, masalahnya adalah sarpras dan jumlah guru kurang memadai, hal ini membuat sekolah tidak mampu menerima murid diluar batas kapasitas gedung dan tenaga pendidik.

       Adanya keutamaan “prioritas jarak” dalam PPDB zonasi menjadikan beberapa orang tua berlomba-lomba untuk tinggal di dekat sekolah. Realitanya, sebelum diberlakukan zonasi ada PPDB online yang kala itu bisa menggunakan KK saudara atau nenek yang terpenting di kota, sehingga banyak ditemukan anak masuk ke KK tante, nenek atau saudaranya untuk bisa masuk ke sekolah yang diinginkan. Namun untuk saat ini cara tersebut sudah tidak bisa lagi digunakan, dilihat dari KK orang tua yang nama anak ada didalamnya. Dari hal ini tidak menutup kemungkinkan ada 2 anak memiliki jarak radius sama, sedangkan kuota tidak mencukupi, maka sekolah akan melihat dari hasil nilai UAN siswa. Fenomena lain di lapangan, sistem jarak tersebut memberikan dampak terhadap harga tanah dan rumah di sekitar tempat sekolahan itu menjadi naik dibanding sebelumnya.

PRO KONTRA SISTEM ZONASI

        Masalah yang seringkali terjadi selanjutnya adalah sistem zonasi yang mengutamakan jarak calon siswa dengan sekolah dibanding nilai ujian nasional berakibat pada runtuhnya motivasi peserta didik baru dalam belajar dan meraih prestasi. Sebelumnya banyak calon siswa belajar sungguh-sungguh hingga masuk bimbingan belajar agar masuk kesekolah favorit -SMPN- , namun dengan sistem zonasi nilai seakan tidak berharga lagi seperti dulu. Kemudian, kurang maksimalnya sosialisasi dinas dengan stakeholders menjadikan orang tua berbondong-bondong ke dinas karena perbedaan penafsiran terhadap aturan zonasi. 

       Contohnya, Di Kendal jarak ditentukan pada jarak RW tempat tinggal calon siswa sesuai KK orang tua ke sekolah terdekat.17 Akan tetapi, sistem zonasi tidak diterapkan 100% namun juga memberikan kuota untuk jalur prestasi sekitar 5%, oleh karena itu beberapa SMPN yang dulu memiliki lebel favorit, kini memiliki kelas khusus yang siswanya diambil dari jalur prestasi, hal ini dikarenakan agar guru lebih mudah dalam melakukan proses KBM. Namun, persepsi yang lain lagi pada wilayah Lampung yang memiliki kuota 5% untuk peserta mandiri dengan kewajiban membayar sumbangan sekolah yang besarnya ditentukan sekolah masing-masing,18 akan tetapi aturan ini memunculkan opini masyarakat jika pendidikan akan dibeli orang yang berduit.

    Selain masalah-masalah diatas, DI Kendal juga memiliki blank spot yaitu wilayah-wilayah yang tidak terjangkau oleh SMPN manapun, sehingga orang tua kesulitan memasukkan anaknya ke sekolah negeri. Menurut Mun, salah satu orang tua calon siswa yang merasa dirugikan karena lokasi tempat tinggalnya berada wilayah blank spot, sehingga anaknya tidak dapat masuk ke sekolah negeri meski memiliki nilai bagus.

    Adanya dampak negative bukan berarti kebijakan tersebut harus dibuang, melainkan mesti mempertimbangkan dampak positif yang lebih besar dari dampak negatifnya. Beberapa contoh dampak positif dari penerapan PPDB zonasi adalah: pertama, siswa dengan prestasi tertinggi diharapkan mampu memotivasi siswa yang lain begitu juga dengan siswa dengan perilaku baik dapat menularkan kepada yang lain. Kedua, guru yang lebih kompeten akan dapat meningkatkan pembelajaran siswa, semakin guru berkompeten maka dia ditugaskan untk mengajar siswa berprestasi rendah. Ketiga, pemerataan kualitas pendidikan, anak-anak memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses pendidikan yang berkualitas. Indikator pendidikan berkualitas menurut Kementerian Pendidikan dan kebudayaan terdapat lima indikator yang benar-benar menggambarkan situasi pendidikan di Indonesia, yaitu: 

  1. Ketersediaan layanan pendidikan
  2. Keterjangkauan layanan pendidikan
  3. Kualitas layanan pendidikan
  4. Kesetaraan memperoleh layanan pendidikan
  5. Kepastian memperoleh layanan pendidikan

       Sistem zonasi berangkat dari keberpihakan pemerintah terhadap seluruh elemen masyarakat. Sistem zonasi merupakan salah satu strategi percepatan pemerataan pendidikan yang berkualitas. Sistem ini diharapkan menghilangkan “kasta” dalam sistem pendidikan di Indonesia, di mana setiap elemen masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Penulis setuju penerapan sistem zonasi dalam PPDB, asal disertai upaya pemerintah untuk memenuhi standar nasional pendidikan di setiap sekolah. Selain itu, mengingat kondisi geografis setiap daerah yang berbeda, maka penerapan sistem zonasi perlu disesuaikan dengan kondisi setiap daerah dengan tetap berpegang pada prinsip mendekatkan jarak tempat tinggal peserta didik dengan sekolah, sistem zonasi akan memudahkan pemerintah melakukan pemetaan anggaran pendidikan, populasi siswa, dan tenaga pendidik.

Terkait pro kontra yang ada, solusi perbaikan yang disarankan ke depan adalah:

  1. Pertama, sebelum menerbitkan kebijakan, pemerintah perlu persiapan matang. Sosialisasi sistem zonasi harus dilakukan secara masif dan dalam waktu yang panjang sebelum diterapkan, agar pemerintah daerah dan masyarakat memahami kebijakan tersebut secara komprehensif. Sistem zonasi bukan hanya tentang jarak, namun lebih jauh lagi untuk mewujudkan pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia.
  2. Kedua, mempertimbangkan ketersediaan jumlah sekolah di setiap zona. Saat ini jumlah sekolah negeri antara satu wilayah dengan lainnya belum merata. Ada satu zona yang terdapat banyak sekolah negeri, tetapi zona lain kekurangan sekolah negeri. Oleh karena itu, pemerintah harus mengevaluasi kembali proyeksi lulusan sekolah. Dari data ini akan terlihat perbandingan jumlah lulusan sekolah dan ketersediaan sekolah yang akan digunakan untuk menentukan zonasi. Apabila ditemukan jumlah lulusan sekolah lebih sedikit dibandingkan ketersediaan penerimaan, maka sebaiknya dilakukan pelebaran daerah zonasi. Dengan cara ini, calon peserta didik yang saat ini masih berada di area blank spot akan teratasi.
  3. Ketiga, Kemendikbud dan Kemendagri perlu berkoordinasi sebelum menerapkan kebijakan baru, sehingga permasalahan SKTM palsu dapat diantisipasi. Penerbitan SKTM harus selektif mulai dari proses pembuatan SKTM yang transparan hingga verifikasi, apakah pemohon SKTM benar-benar dari keluarga ekonomi tidak mampu. Sanksi bagi calon peserta didik yang menyalahgunakan SKTM juga perlu ditegakkan.
  4. Keempat, persepsi orang tua tentang sekolah unggulan harus mulai diubah, bahwa ke depan semua sekolah dengan predikat unggulan tidak ada lagi seiring diberlakukannya sistem zonasi PPDB. Terkait persepsi, Philip Kotler mendefinisikannya sebagai proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur, dan menginteprestasikan masukan-masukan informasi untuk menciptakan gambaran keseluruhan yang berarti (Kohler, 1993: 219).

PENUTUP 
    Penerapan kebijakan sistem zonasi dalam PPDB 2018/2019 menimbulkan pro kontra. Beberapa hal yang menjadi perdebatan adalah masalah jarak antara tempat tinggal calon peserta didik dengan sekolah, perbedaan penafsiran daerah atas aturan zonasi PPDB. Pendidikan dalam system zonasi perlu mengevaluasi kembali proyeksi lulusan sekolah dengan ketersediaan sekolah guna menentukan zonasi. Selanjutnya, pemerintah perlu melakukan sosialisasi secara masif agar masyarakat memahami kebijakan secara komprehensif, sehingga persepsi masyarakat tentang sekolah unggulan dan non-unggulan akan berubah.
    Dalam peraturannya, Pengaturan sistem zonasi dalam PPDB yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2019 tepatnya Pasal 26, bertentangan dengan peraturan diatasnya yaitu PP RI No 13 Tahun 2015 tepatnya Pasal 68 huruf b yang menetapkan bahwa hasil ujian nasional digunakan sebagai dasar untuk pertimbangan seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, yang mana peraturan pemerintah ini merupakan penjabaran dariUndang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sehingga berdasarkan Stufenbautheorydari Hans Kelsen yang diterjemahkan di Indonesia melalui Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 maka Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2019 harus dicabut, atau perlu dikaji ulang dan disesuaikan dengan peraturan diatasnya agar tercipta harmonisasi peraturan perundang undangan.


DAFTAR PUSTKA
  • JOURNAL OPEN ACCESS ANALISIS YURIDIS MENGENAI SISTEM ZONASI DALAM PENERIMAAN PESERTA DIDIK BARU Mulyani T. Muryati D. T. JURNAL USM LAW REVIEW (2020) 
  • JOURNAL Analisis Kebijakan Sistem Zonasi Terahadap Perilaku Siswa SMP di YogyakartaNurlailiyah A. Realita: Jurnal Penelitian dan Kebudayaan (2019) 
  • “Pro Kontra Sistem Zonasi Dalam Penerimaan Siswa Baru”, https:// tirto.id/prokontra-sistem-zonasidalam-penerimaan-siswa-barucsEh, diakses 17 Juli 2018. 
  • “Sistem Zonasi PPDB Dinilai Hambat Pendidikan Anak", https://regional.kompas.com/ read/2018/07/11/17362241/ sistem-zonasi-ppdbdinilaih a m b a t - p e n d i d i k a n - a n a k , diakses 13 Juli 2018. 
  • JOURNAL Pro Kontra Sistem Zonasi Penerimaan Peserta Didik Tahun Ajaran 2018/2017Wahyuni D. Info Singkat Bidang Kesejahteraan Sosial Puslit Badan Keahlian DPR (2019) 
  • Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta, 2003. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta, 200


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inisiatif membangun kekuatan intelektual, Departemen Pendidikan dan Penalaran (PILAR) HMJ Sosiologi FISIP UIN Walisongo Semarang mengadakan kelas penelitian di Desa Merbuh, Kecamatan SIngorojo, Kabupaten Kendal

HMJ Sosiologi mengadakan acara Pekan Ceria yang dilaksanakan di Kelurahan Bandarharjo, Kota Semarang

HMJ Sosiologi menggelar acara eLSiS dengan tema "Analisis Kebijakan Pemerintah Terhadap Pengendalian Harga Kebutuhan Pokonya"